Pembukaan
Pendidikan Islam tidak hanya menekankan pada pengetahuan agama, tetapi juga menanamkan moral dan etika yang baik dalam diri seseorang. Salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut adalah melalui pemberian hadiah dan hukuman. Dalam artikel ini, kita akan membahas pentingnya pemberian hadiah dan hukuman dalam pendidikan Islam serta bagaimana penggunaannya secara efektif.
BAB
I
PENDAHULUAN
I. Latar belakang
Anak merupakan amanah yang diberikan Allah kepada para
orangtua, dan wajib ditunaikan. Kenyataan bahwa banyak kaum ibu yang lebih
memilih karir daripada pendidikan anaknya. Mereka menitipkan anak pada pembantu
atau baby sister. Sebaliknya ada sebagian ibu yang mencurahkan seluruh waktunya
untuk keluarga dan anaknya, tetapi mereka menerapkan metode pendidikan yang
salah kepada anaknya.
Pendidikan anak dengan metode pemberian penghargaan
dan hukuman banyak disepelehkan oleh para pendidik, karena sudah begitu biasa
dilakukan. Sehingga kententuan dan aturan yang ada pun dilupakan bahkan banyak
yang tidak menyadari kalau hal yang dianggap sepele itu memiliki aturan.
Padahal, kekeliriun pada saat menerapkan metode pendidikan ini, bisa berakibat
fatal sehingga merusak kepribadian anak yang sebelumnya sudah terbentuk dengan
baik.
Peringatan dan perbaikan terhadap anak bukanlah
tindakan balas dendam yang didasari amarah, melainkan suatu metode pendidikan
yang didasari atas rasa cinta dan kasih sayang. Ibnu Jazzar al-Qairawani
menjelaskan tentang perbaikan anak sejak dini, “Sesungguhnya masa kanak-kanak
adalah masa terbaik bagi pendidikan. Apabila kita dapati sebagian anak mudah
dibina dan sebagian lain sulit dibina, sebagian giat belajar dan sebagian lain
sangat malas belajar, sebagian mereka belajar untuk maju dan sebagian lain
belajar hanya untuk terhindar dari hukuman.”
Sebenarnya sifat-sifat buruk yang timbul dalam diri
anak di atas bukanlah lahir dan fitrah mereka. Sifat-sifat tersebut terutama
timbul karena kurangnya peringatan sejak dini dari orangtua dan para pendidik.
Semakin dewasa usia anak, semakin sulit pula baginya untuk meninggalkan
sifat-sifat buruk. Banyak sekali orang dewasa yang menyadari keburukan
sifat-sifatnya, tapi tidak mampu mengubahnya. Karena sifat-sifat buruk itu
sudah menjadi kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan. Maka berbahagialah para
orangtua yang selalu memperingati dan mencegah anaknya dari sifat-sifat buruk
sejak dini, karena dengan demikian, mereka telah menyiapkan dasar yang kuat
bagi kehidupan anak di masa mendatang.”
Merupakan kesalahan besar apabila menyepelekan
kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan anak, karena kebakaran yang besar
terjadi sekalipun berawal dari api yang kecil. Maka bila orangtua mendapati
anaknya melakukan kesalahan, seperti berkata kasar misalnya, hendaknya langsung
memperingatinya.
Setelah mengetahui arti penting peringatan dan perbaikan bagi anak, maka para orangtua dan pendidik harus mengerti metode yang diajarkan Rasulullah SAW dalam peringatan dan perbaikan anak. Dalam dunia pendidikan, metode ini disebut dengan metode ganjaran (reward) dan hukuman (punishement). Dengan metode tersebut diharapkan agar anak didik dapat termotivasi untuk melakukan perbuatan positif dan progresif.
Setelah mengetahui arti penting peringatan dan perbaikan bagi anak, maka para orangtua dan pendidik harus mengerti metode yang diajarkan Rasulullah SAW dalam peringatan dan perbaikan anak. Dalam dunia pendidikan, metode ini disebut dengan metode ganjaran (reward) dan hukuman (punishement). Dengan metode tersebut diharapkan agar anak didik dapat termotivasi untuk melakukan perbuatan positif dan progresif.
Dalam topik ini akan dibahas tentang pengertian
hukuman dan ganjaran, pendapat beberapa pakar pendidikan tentang pelaksanaan
hukuman dan ganjaran serta penerapannya dalam pendidikan. Selanjutnya dibahas
pula tentang ganjaran dalam bentuk hadiah sesuai dengan praktek Rasulullah SAW
dalam menerapkan hukuman dan ganjaran.
II. Rumusan masalah
Sebagaimana latar belakang di atas, penulis berusaha
merumuskan pokok-pokok pembahasan sebagai berikut;
1. Seperti Apa Pendidikan Anak Dalam Islam?
2. Bagaimana Konsep Pemberian Hadiah dan Hukuman dalam Pendidikan Anak menurut
Islam?
3.
Bagaimana Pandangan Pakar Pendidikan
Muslim Tentang Hadiah dan Hukuman?
4.
Bagaimana Prinsip-prinsip Pemberian
Hadiah dan Hukuman dalam Pendidikan Anak menurut Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sekilas Pendidikan Anak Dalam Islam
Untuk mendidik anak agar memiliki tingkah laku dan
kepribadian yang islami, maka proses belajar mengajar harus ditetapkan dengan
sistem pendidikan yang idiologis, yaitu pendidikan yang dasarkan kepada Islam
sebagai suatu aturan. Maka bukan saja pendekatannya kepada anak sebagai objek
perubahan, namun pendidiklah faktor utama dan yang paling penting yang akan
menentukan berhasil atau tidaknya tujuan pendidikan itu. Selain penguasaan
terhadap metodologi atau sistem pendidikan yang baik dan benar, seorang
pendidik pun harus memiliki sifat-sifat yang telah dicontohkan Rasulullah
sebagai seorang pendidik agung. Seperti tanggungjawab yang tinggi bahwa ia akan
dimintai pertanggungjawaban nati di hadapan Allah SWT.[1]
Ibnu Qayyim al-Jauziyah Rahimahullah mengatakan:
”Sebagian
ulama mengatakan bahwa Allah SWT akan meminta pertanggung jawaban setiap orang
tua tentang anaknya pada hari kiamat sebelum anak sendiri meminta
pertanggungjawaban orang tuanya. Sebagaimana seorang ayah mempunyai hak atas
anaknya, maka anak pun mempunyai hak atas ayahnya.”
Allah juga berfirman dalam surat at-Tahrim: 6
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydßqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur ….
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu;[2]
Ketika menafsirkan surat at-Tahrim ayat 6 ini, Imam Ibnu Katsir
menyebutkan beberapa komentar sahabat seperti komentar Sayyidina Ali r.a. yang
mengatakan ”Ajari mereka dan didiklah mereka.” Ibnu Abbas r.a mengatakan ”Ajari
Keluargamu ketaatan kepada Allah, dan melarang mereka untuk tidak melakukan
kemaksiatan kepada Allah. Sedangkan Addahak mengatakan ”kewajiban atas setiap
muslim untuk mengajari keluarganya, yang terdiri dari anak, istri, budak serta
semua yang menjadi tanggungjabanya dari apa-apa yang diwajibkan dan dilarang
Allah kepada mereka”.[3]
Pendidikan adalah hak anak yang menjadi kewajiban atas
orangtua. Ia adalah hibah atau hadiah. Hal ini telah ditegaskan oleh nabi SAW
melalui sabda beliau, ”Merka itu disebut oleh Allah sebagai abrar (orang-orang
yang baik) karena mereka berbakti kepada orang tua dan anak. Sebagaimana kamu
mempunyai hak atas anakmu, maka anakmu juga mempunyai hak atasmu.” Diriwayatkan
oleh Bukhari dalam Adab al-Mufrad.[4]
B. Konsep Pemberian Hadiah dan Hukuman
Salah satu teknik atau metode pendidikan Islam adalah
pendidikan dengan pemberian penghargaan dan sanksi. Penghargaan atau hadiah
dalam pendidikan anak akan memberikan motivasi untuk terus meningkatkan atau
paling tidak mempertahankan prestasi yang telah didapatnya, di lain pihak
temannya yang melihat akan ikut termotivasi untuk memperoleh hal yang sama.
Sedangkan sanksi atau hukuman sangat berperan penting dalam pendidikan anak
sebab pendidikan yang terlalu lunak akan membentuk anak kurang disiplin dan
tidak mempunyai keteguhan hati.[5]
Sudah menjadi tabiat manusia memiliki kencendrungan
kepada kebaikan dan keburukan. Oleh karena itu pendidikan Islam berupaya
mengembangkan manusia dalam berbagai jalan kebaikan dan jalur keimanan.
Demikian pula pendidikan Islam berupaya menjauhkan manusia dari keburukan
dengan segala jenisnya. Jadi tabiat ini merupakan kombinasi antara kebaikan dan
keburukan, maka tabiat baik perlu diarahkan dengan memberikan imbalan,
penguatan dan dorongan, sedangkan tabiat buruk perlu dipagari dan dicegah. Cara
pengarahan ini dikenal dalam al-Qur’an dengan metode targhib dan tarhib.[6]
Targhib dan tarhib merupakan salah satu teknik
pendidikan yang bertumpu pada fitrah manusia dan keiginannya pada imbalan,
kenikmatan dan kesenangan. Metode ini pun bertumpu pada rasa takut mausia
terhadap hukuman, kesulitan dan akibat buruk.
C. Pandangan Pakar Pendidikan Muslim Tentang Hadiah dan Hukuman
1. Pandangan al-Ghazali
Menurut al-Ghazali hendaknya para guru memberikan
nasehat kepada siswanya dengan kelembutan. Guru di tuntut berperan sabagai
orang tua yang dapat merasakan apa yang dirasakan anak didiknya, jika anak
memperlihatkan suatu kemajuan, seyogianya guru memuji hasil usaha muridnya,
berterima kasih padanya, dan mendukungnya terutama didepan teman-temannya.
Guru perlu menempuh prosedur yang berjenjang dalam
mendidik dan menghukum anak saat dia melakukan kesalahan. Apabila pada suatu
kali anak menylahi perilaku terpuji, selayaknya pendidik tidak membongkar dan
membeberkan kesalahan-kesalahannya itu. Mengungkapan rahasianya itu mungkin
akan membuatnya semakin berani melanggar. Jika anak mengulangi kesalahan yang
sama, tegurlah dengan halus dan tunjukkan urgensi kesalahannya. Beliau juga mengingatkan
bahwasanya menegur dan mencela secara berkesinambungan dan mengungkit-ungkit
kesalahan yang dilakukannya membuat anak menjadi pembangkang. Sehubungan dengan
hal tersebut beliau menegaskan ”Jangan terlampau banyak mencela setiap saat
karena erkataan tidak lagi berpengaruh dalam hatinya. Hendaknya guru atau orang
tua menjaga kewibawaan nasehatnya.”[7]
2. Pandangan Ibnu Khaldun
Ibn Khaldun mengemukakan masalah imbalan dan sanksi di
dalam bukunya al-Muqaddimah, beliau tidak menyebutkan selain seorang pendidik
harus mengetehui cara pertumbuhan akal manusia yang bertahap hingga ia mampu
mensejalankan pertumbuhan itu dengan pengajarannya terhadap anak didik. Ia
menasehatkan agar tidak kasar dalam memperlakukan anak didik yang masih kecil,
mencubit tubuh dalam pengajaran merusak anak didik, khususnya anak kecil.
Perlakuan kasar dan keras terhadap anak kecil dapat
menyebabkan kemalasan dan mendorong mereka untuk berbohong serta memalingkan
diri dari ilmu dan pengajaran. Oleh karena itu pendidik harus memperlakukan
anak didik dengan kelembutan dan kasih sayang serta tegas dalam waktu-waktu
yang diutuhkan untuk itu.[8]
3. Pandangan Ibnu Jama’ah
Pemberian imbalan lebih kuat dan lebih berpengaruh
terhadap pendidikan anak dari pada pemberian sanksi. Sanjungan dan pujian guru
dapat mendorong siswanya untuk meraih keberhasilan dan prestasi yang lebih
baik. Ibnu Jama’ah lebih memprioritaskan imbalan, anggapan baik, pujian dan
sanjungan. Hal ini perlu dijelaskan oleh guru bahwa pujian itu disebabkan oleh
upaya dan keunggulan siswa tersebut, sehingga siswa dapat memahaminya.
Ibnu Jama’ah sangat menghindar dari penerapan sanksi
yang dapat menodai kemuliaan manusia dan merendahkan martabatnya. Jadi sanksi
itu merupakan bimbingan dan pengarahan perilaku serta pengendaliannya dengan
kasih sayang. Sanksi perlu diberikan dengan landasan pendidikan yang baik dan
ketulusan dalam bekerja, bukan berlandaskan kebencian dan kemarahan.[9]
D. Prinsip-Prinsip Pemberian Hadiah dan Hukuman
1. Prinsip-Prinsip Pemberian Hadiah
Pertama, penilaian didasarkan pada ’perilaku’ bukan
’pelaku’. Untuk membedakan antara ’pelaku’ dan ’perilaku’ memang masih sulit,
terutama bagi yang belum terbiasa. Apalagi kebiasaan dan presepsi yang tertanam
kuat dalam pola pikir kita yang sering menyamakan kedua hal tersebut. Istilah
atau panggilan semacam ’anak shaleh’, anak pintar’ yang menunjukkan sifat
’pelaku’ tidak dijadikan alasan peberian penghargaan karena akan menimbulkan
persepsi bahwa predikat ’anak shaleh’ bisa ada dan bisa hilang. Tetapi harus
menyebutkan secara langsung perilaku anak yang membuatnya memperoleh hadiah.
Jadi komentar seperti ”Kamu dikasih hadiah karena sebulan ini kamu benar-benar
jadi anak shaleh”, harus dirubah menjadi ”Kamu diberi hadiah bulan ini karena
kerajinan kamu dalam melaksanakan shalat wajib”.[10]
Kedua, pemberian penghargaan atau hadiah harus ada
batasnya. Pemberian hadiah tidak bisa menjadi metode yang dipergunakan
selamanya. Proses ini cukup difungsikan hingga tahapan penumbuhan kebiasaan
saja. Manakala proses pembiasaan dirasa telah cukup, maka pemberian hadiah
harus diakhiri. Maka hal terpenting yang harus dilakukan adalah memberikan
pengertian sedini mungkin kepada anak tentang pembatasan ini.[11]
Ketiga, penghargaan berupa perhatian. Alternatif
bentuk hadiah yang terbaik bukanlah berupa materi, tetapi berupa perhatian baik
verbal maupun fisik. Perhatian verbal bisa berupa komentar-komentar pujian,
seperti, ’Subhanallah’, Alhamdulillah’, indah sekali gambarmu’. Sementara
hadiah perhatian fisik bisa berupa pelukan, atau acungan jempol.[12]
Keempat, dimusyawarahkan kesepakatannya. Persepsi umum
para orang dewasa, kerap menyepelekan dan menganggap konyol celotehan anak.
Bahwa anak suka bicara ceplas-ceplos dan mementingkan diri sendiri memanglah
benar, tetapi itu bisa diatasi dengan beberapa kiat tertentu. Setiap anak yang
ditanya tentang hadiah yang dinginkan, sudah barang tentu akan menyebutkan
barang-barang yang ia sukai. Maka disinilah ditunutut kepandaian dan kesabaran
seorang guru atau orang tua untuk mendialogkan dan memberi pengertian secara
detail sesuai tahapan kemamuan berpikir anak, bahwa tidak semua keinginan kita
dapat terpenuhi.[13]
Kelima, distandarkan pada proses, bukan hasil. Banyak
orang lupa, bahwa proses jauh lebih penting daripada hasil. Proses
pembelajaran, yaitu usaha yang dilakukan anak, adalah merupakan lahan
perjuangan yang sebenarnya. Sedangkan hasil yang akan diperoleh nanti tidak
bisa dijadikan patokan keberhasilannya. Orang yang cenderung lebih
mengutramakan hasil tidak terlalu mempermasalahkan apakah proses pencapaian
hasil tersebut dilakukan secara benar atau salah, halal atau haram.
Sebuah contoh bisa dilahat pada sekolah yang membuat
buku penilaian terhadap aktifitas shalat para siswa SD selama berada di rumah.
Pihak sekolah tidak memiliki cara untuk mengetahui kebenaran pengisian buku
tersebut. Pihak sekolah tidak merasa penting menilai alur proses yang terjadi
dalam menumbuhkan kebiasaan siswanya shalat, tetapi hanya menstandarkan
pemberian hadiah pada hasil saja, yaitu bukti yang tertera dalam buku
pemantauan shalat tersebut.[14]
2. Prinsip-Prinsip Pemberian Hukuman
Pertama, kepercayaan terlebih dahulu kemudian hukuman.
Metode terbaik yang tetap harus diprioritaskan adalah memberikan kepercayaan
kepada anak. Memberikan kepercayaan kepada anak berarti tidak menyudutkan mereka
dengan kesalahan-kesalahannya, tetapi sebaliknya kita memberikan pengakuan
bahwa kita yakin mereka tidak berniat melakukan kesalahan tersebut, mereka
hanya khilaf atau mendapat pengaruh dari luar.
Memberikan komentar-komentar yang mengandung kepercayaan,
harus dilakukan terlebih dahulu ketika anak berbuat kesalahan. Hukuman, baik
berupa caci maki, kemarahan maupun hukuman fisik lain, adalah urutan prioritas
akhir setelah dilakukan berbagai cara halus dan lembut lainnya untuk memberikan
pengertian kepada anak.[15]
Kedua, hukuman distandarkan pada perilaku. Sebagaimana
halnya pemberian hadiah yang harus distandarkan pada perilaku, maka demikian
halnya hukuman, bahwa hukuman harus berawal dari penilaian terhadap perilaku
anak, bukan ’pelaku’ nya. Setiap anak bahkan orang dewasa sekalipun tidak akan
pernah mau dicap jelek, meski mereka melakukan suatu kesalahan.
Ketiga, menghukum tanpa emosi. Kesalahan yang paling
sering dilakukan orangtua dan pendidik adalah ketika mereka menghukum anak
disertai dengan emosi kemarahan. Bahkan emosi kemarahan itulah yang menjadi
penyebab timbulnya keinginan untuk menghukum. Dalam kondisi ini, tujuan
sebenarnya dari pemberian hukuman yang menginginkan adanya penyadaran agar anak
tak lagi melakukan kesalahan, menjadi tak efektif.
Kesalahan lain yang sering dilakukan seorang pendidik
ketika menghukum anak didiknya dengan emosi, adalah selalu disertai nasehat
yang panjang lebar dan terus mengungkit-ungkit kesalahan anak. Dalam kondisi
seperti ini sangat tidak efektif jika digunakan untuk memberikan nasehat
panjang lebar, sebab anak dalam kondisi emosi sedang labil, sehingga yang ia
rasakan bukannya nasehat tetapi kecerewetan dan omelan yang menyakitkan.[16]
Keempat, hukuman sudah disepakati. Sama seperti metode
pemberian hadiah yang harus dimusyawarahkan dan didiologkan terlebih dahulu,
maka begitu pula yang harus dilakukan sebelum memberikan hukuman. Adalah suatu
pantangan memberikan hukuman kepada anak, dalam keadaan anak tidak menyangka ia
akan menerima hukuman, dan ia dalam kondosi yang tidak siap. Mendialogkan
peraturan dan hukuman dengan anak, memiliki arti yang sangat besar bagi si
anak. Selain kesiapan menerima hukuman ketika melanggar juga suatu pembelajaran
untuk menghargai orang lain karena ia dihargai oleh orang tuanya.[17]
Kelima, tahapan pemberian hukuman. Dalam memberikan
hukuman tentu harus melalui beberapa tahapan, mulai dari yang teringan hingga
akhirnya jadi yang terberat. Untuk itu kita perlu merujuk kepada al-Qur’an,
seperti apa konsep tahapan hukuman yang dibicarakan disana. Salah satu jenis
kesalahan yang ditereangkan secara jelas tahapan hukumannya adala mengenai
istri nusyuz.
Difirmankan Allah dalam surat An-Nisa: 34,
ÓÉL»©9$#ur…. tbqèù$srB Æèdyqà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ÒyJø9$# £`èdqç/ÎôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& xsù (#qäóö7s? £`Íkön=tã ¸xÎ6y 3 .
“...wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya.”
Adapun Ibnu Jama’ah memandang bahwa sanksi
kependidikan dapat diberikan dalam empat tahapan. Jika siswa melakukan perilaku
yang tidak dapat diterima, guru dapat mengikuti empat tahapan tersebut.
1.
Melarang perbuatan itu didepan siswa yang
melakukan kesalahan tanpa menyebutkan namanya.
2.
Jika anak tidak menghentikan, guru dapat
melarangnya secara sembunyi-sembunyi, misal dengan isyarat.
3.
Jjika anak tidak juga menghentikannya,
guru dapat melarangnya secara tegas dan keras, agar yang dia dan teman-temannya
menjauhkan diri dari perbuatan semacam itu.
4.
Jika anak tidak kunjung menhentikannya,
guru dapat mengusirnya dan tidak memperdulikannya.[18]
3.
Keseimbangan Penghargaan dan Sanksi
Segala sesuatu perlu ukuran, perlu Keseimbangan. Yaitu
proporsi ukuran yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Belum tentu ukuran
tersebut harus berbagi sama. Keseimbangan imbalan dan sanksi pun tidak berarti
harus diberikan dalam porsi sama, satu-satu.
Yang akan dipakai sebagai standar Keseimbangan adalah
sama seperti standar yang dipergunakan Allah SWT dalam memberikan pahala dan
dosa bagi hamba-hambaNya. Seperti kita ketahui, Allah menjanjikan pahala bagi
manusia, untuk sekedar sebuah niat berbuat baik. Manakala niat itu diwujudkan
dalam bentuk sebuah amal, Allah akan membalasnya dengan pahala yang bukan hanya
satu, melainkan berlipat ganda. Sebaliknya, Allah mempersulit pemberian dosa
bagi hambaNya. Nita untuk bermaksiat belumlah dicatat sebagai dosa, kecuali
niat itu terelaksana, itupun bisa segera Dia hapuskan ketika kita segera
beristigfar.
Keseimbangan inilah yang harus kita teladani dalam
memberikan imbalan dan hukuman kepada anak. Kita harus mengutamakan dan
mempermudah memberikan penghargaan dan hadiah kepada anak dan meminimalkan
pemberian hukuman.[19]
Metode pemberian hukuman adalah cara tekhir yang
dilakukan, saat sarana atau metode lain mengalami kegagalan dan tidak mencapai
tujuan. Saat itu boleh melakukan penjatuhan sanksi. Dan ketika menjatukan
sanksi harus mencari waktu yang tepat serta sesuai dengan kadar kesalahan yang
dilakukan.[20]
4. Ketika Hukuman Harus Diberikan
Dalam sebuah haditsnya Rasulullah SAW bersabda:
“Ajarilah
anak kecil shalat ketika ia berusia 7 (tujuh) tahun dan pukullah ia bila enggan
shalat ketika berusia 10 (sepuluh) tahun.”[21]
Dalam hadits ini rasulullah SAW menyampaikan nasehat,
yang didalamnya terkandung cara mendidik anak yang dilandasi kasih sayang, dan
menomor duakan hukuman. Artinya, rasulullah SAW sama sekali tidak menganjurkan
menghukum anak yang belum pernah diajari dan dibiasakan.
Andai pun seorang pendidik harus menjatuhkan hukuman,
itu harus diduhului dengan pembiasaan, pengajaran dan bimbingan dengan penuh
kesabaran dan kasih sayang dalam rentan waktu 3 (tiga) tahun. 3 (tahun) adalah
waktu yang sudah cukup panjang untuk mendidik kebiasaan shalat anak, sehingga
sangat wajar jika diberi hukuman setelah 3 (tiga) tahun pembiasaan tersebut.
Sekali lagi proses pengajaran dan pembiasaannya makan waktu 3 (tiga) tahun.[22]
BAB
III
PENUTUP
Sebagai penutup dari makalah singkat ini, pemakalah
ingin menyampaikan sebauah hadits yang sudah ma’ruf diketahui kaum muslimin;
“Setiap
anak dilahirkan dalam kondisi fitrah (Islam); kedua orang tuanyalah yang
berperan menjadikannya seorang Yahudi, Nashrani, atau Majusi.”[23]
Kita dapat melihat bahwa Rasulullah SAW memikulkan
tanggung jawab penddidikan anak ini secara utuh kepada kedua orangtua. Untuk
itu kita harus mencurahkan segala upaya dan terus berbuat tanpa henti untuk
meluruskan anak-anak kita, senantiasa membiasakan mereka berbuat kebaikan.
Salah satu dari sekian, metode pendidikan anak adalah
metode penddidikan pemberian penghargaan dan sanksi, yang tentunya memilki
kaedah-kaedah tersendiri dalam penerapannya. Salah sato contoh dari rasulullah
tentang metode ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad
hasan;
“Pada suatu
ketika Nabi SAW membariskan Abdullah, Ubaidillah dan anak-anak paman beliau,
al-Abbas. Kemudian, beliau berkata: “Barang siapa terlebih dahulu sampai
kepadaku, dia akan mendapat ini dan itu.” Lalu, mereka berlomba-lomba untuk
sampai kepada beliau. Mereka merebahkan diri diatas punggung dan dada beliau.
Kemudian, beliau menciumi mereka dan member penghargaan.”
Demikianlah makalah yang dapat penulis paparkan, tentunya masih sangat jauh
dari kesempurnaan tapi semoga saja yang kita pelajari ini bermanfaat, dengan
harapan bisa menambah pengetahuan dan keilmuan bagi kita semua. Kritik dan
saran yang bersifat membangun sangan diharapkan untuk menjadi koreksi kedepan
dan terima kasih kepada bapak dosen yang telah membimbing saya semoga
kita semua mendapat barokah dan kemanfa’atan ilmunya. Amien
DAFTAR PUSTAKA
El Moekry, Mukhotim, Membina Anak Beraqidah Kokoh; Metode Mendidik Anak
Menjadi Generasi Idiologis, Jakarta: Wahyu Press, 2004
Suwaid, Muhammad, Mendidik Anak Bersama Nabi SAW, Solo : Pustaka
Arafah, 2006, Cet.4.
Ash-Shobuni, Mohammad Ali, Muhtashor Tafsir Ibnu Katsir, Beirut:
Darul Qur’anul Karim, 1981, Jil.3.
Budiwi, Ahmad Ali, Imbalan dan Hukuman: Pengaruhnya bagi Pendidikan
Anak, Jakarta: Gema Insani Press, 2002
Sulaiman, Fathiyyah Hasan, Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan,
Jakarta: Minaret, 1991
Istadi, Irawati, Istimewakan Setiap Ana, Jakarta: Pustaka Inti,
2002
........., Irawati, Prinsip-Prinsip
Pemberian Hadiah & Hukuman, Jakarta: Pustaka Inti, 2003
…….., Irawati, Mendidik
Dengan Cinta, Jakarta:
Pustaka Inti, 2002
Al-Maghribi, Al-Maghribi bin as-Said, Begini Seharusnya Mendidik Anak:
Panduan Mendidik Anak Dari Masa Kandungan Hingga Dewasa, Jakarta : Darul
Haq, 2004
Hannan, Munawwarah, Mutiara Pendidikan Anak; Kumpulan Hadits,
Jakarta: Tansim Publishing, 2006.
Riwayat, 2008, http://riwayat
.wordress.com/Metode Mendidik Akhlak Anak” diakses pada 20 Desember 2008
[1] Mukhotim El Moekry, Membina Anak
Beraqidah Kokoh; Metode Mendidik Anak Menjadi Generasi Idiologis, Jakarta:
Wahyu Press, 2004. hlm. 66
[2]
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ahkam al-Maulud. Dikutip dari Muhammad
Suwaid, Mendidik Anak Bersama Nabi SAW, Solo : Pustaka Arafah, 2006,
Cet.4. hlm. 22
[3]
Mohammad Ali Ash-Shobuni, Muhtashor Tafsir Ibnu Katsir, Beirut: Darul Qur’anul
Karim, 1981, Jil.3. hlm.522
[4]
Muhammad Suwaid, Mendidik Anak Bersama Nabi SAW. hlm. 24
[5]
Riwayat Attubani”Metode Mendidik Akhlak Anak” diakses pada 20 Desember 2008
dari http://riwayat .wordpress.com, diakses pada tanggal 17 Juni 2015
[6] Ahmad Ali Budiwi, Imbalan dan Hukuman:
Pengaruhnya bagi Pendidikan Anak, Jakarta: Gema Insani Press, 2002 hlm. 4
[7] Ahmad Ali Budiwi, Imbalan dan Hukuman:
Pengaruhnya bagi Pendidikan Anak, hlm. 8
[8] Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah. yang
dikutip dari Fathiyyah Hasan Sulaiman, Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan,
Jakarta: Minaret, 1991 hlm. 97-98
[9] Ahmad Ali Budiwi, Imbalan dan Hukuman:
Pengaruhnya bagi Pendidikan Anak, hlm.26-28
[10] Irawati Istadi, Istimewakan Setiap
Ana, Jakarta: Pustaka Inti, 2002 hlm. 49
[11] Irawati Istadi, Prinsip-Prinsip
Pemberian Hadiah & Hukuman, Jakarta: Pustaka Inti, 2003 hlm. 29
[12] Ibid. hlm. 33
[13] Ibid. hlm. 43
[14] Ibid. hlm. 41
[15] Irawati Istadi, Prinsip-Prinsip
Pemberian Hadiah & Hukuman. Hlm. 66-71
[16] Ibid. Hlm. 76-77
[17] Irawati Istadi, Prinsip-Prinsip
Pemberian Hadiah & Hukuman. Hlm. 79-80
[18] Ali Budiwi, Imbalan dan Hukuman:
Pengaruhnya bagi Pendidikan Anak, hlm.27
[19] Irawati Istadi, Prinsip-Prinsip
Pemberian Hadiah & Hukuman, Jakarta: Pustaka Inti, 2003 hlm. 9
[20] Al-Maghribi bin as-Said al-Maghribi,
Begini Seharusnya Mendidik Anak: Panduan Mendidik Anak Dari Masa Kandungan
Hingga Dewasa, Jakarta : Darul Haq, 2004 hlm. 387
[21] Hadits shahih di takhrij oleh Ahmad,
2/169. dianggap shahih oleh al-Hakim dan disepakati adz-Dzahabi. Dikutip dari
Munawwarah Hannan, Mutiara Pendidikan Anak; Kumpulan Hadits, Jakarta:
Tansim Publishing, 2006. hlm. 24
[22] Irawati Istadi, Mendidik Dengan Cinta,
Jakarta: Pustaka Inti, 2002. hlm.91-92
[23]
Shahih Bukhari, Juz I, 1292. Dikutip
dari Munawwarah Hannan, Mutiara Pendidikan Anak; Kumpulan Hadits.
hlm.22