Pembukaan
Dalam konteks hukum Islam, Ijma' merupakan salah satu sumber hukum yang memiliki kedudukan yang sangat penting. Ijma' merujuk pada kesepakatan umat Islam yang terjadi di kalangan para ulama terkemuka dalam menetapkan suatu hukum atau pandangan tertentu. Dalam makalah ini, kita akan menjelajahi konsep Ijma', memberikan pemahaman mendalam tentang bagaimana Ijma' terbentuk, dan menggali kehujahan (keabsahan) hukum-hukum yang dihasilkan melalui mekanisme ini.
Contoh Makalah IJMA' DAN KEHUJAHANNYA
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Ijma’ merupakan
kebulatan pendapat semua ahli ijtihad pada suatu masa atas hukum syara’ . oleh
karena itu , menurut Hanafi , dalam ijma’ terkandung hal-hal berikut :
1.
Kebulatan dapat terwujud apabila pendapat
seseorang sama dengan pendapat lain.
2.
Apabila ada yang tidak sependapat , tidak
akan ada ijma’ tanpa kesepakatan secara keseluruhan ijma’ , tidak terjadi ,
tetapi pendapat terbanyak dapat dijadikan hujjah
3.
Jika pendapat di suatu masa tersebut
hanya keluar dari seorang mujtahid , bukan termasuk ijma’
4.
Kebulatan pendapat harus real , artinya
semua menyatakannya , baik dengan lisan , tulisan , atau isyarat .
5.
Kesepakatan yang dimaksudkan hanya
berlaku untuk mujtahid , bukan yang lainnya.[1]
6.
Kebulatan pendapat dari kelompok tertentu
, bukan merupakan ijma’ , sebab ijma’ disini adalah ijma’ ummah seluruh umat
bersepakat
Harus dikemukakan sejak awal bahwa ijma’ itu tidak
terlepas dari penyandaran terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah, . Sebagai doktrin
dan dalil syari’ah, ijma’ pada dasarnya ijma’ merupakan dalil rasional. Teori
ijma’ juga jelas bahwa ia merupakan dalil yang menuntut bahwa banyak konsensus
mutlak dan universal sajalah yang memenuhi syarat, sekalipun konsensus mutlak
mengenai materi ijma’ yang bersifat rasional sering kali sulit terjadi. Adalah
wajar dan masuk akal untuk hanya menerima ijma’ sebagai realitas dan konsep
yang falid dalam pengertian relative, tetapi bukti factual tidak cukup untuk
menentukan universalitas ijma’. Definisi klasik dan syarat esensial ijma’ sebagai
mana ditetapkan oleh ulama-ulama ushul, adalah sangat jelas bahwa tak kurang
dari konsensus universal sarjana-sarjana muslim dapat dianggap sebagai ijma’
yang meyakinkan. Oleh karena itu tidak ada sedikitpun ruang bagi ketidak
sepakatan, atau ikhtilaf, mengenai konsep ijma’. Teori ijma’ juga tidak mau
menerima gagasan relatifitas atau tidak mau menerima kesepakatan darinya.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dalam penulisan makalah ini penulis merumuskan pokok pembahasan sebagai
berikut;
1.
Bagaimana pengertian dan fungsi ijma’?
2.
Apa saja rukun-rukun ijma’?
3.
Apa saja Syarat ijma’?
4.
Bagaimana Kehujjahan ijma’?
5.
Apa saja macam-macam ijma’
6.
Bagaimana fungsi ijma’?
7.
Sperti apa Problematika ijma’?
...........................
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan fungsi ijma’
Secara
etimologi, ijma’ berarti “kesepakatan” atau konsensus. Pengertian ini
dijumpai dalam Al-Qur’an surat An-nisa (115) :
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن
بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيرًاوَمَن يُشَاقِقِ
الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ
الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa
yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.(QS.An-Nisa’:115)"[2]
Pengertian
etimologi kedua dari ijma’ adalah (ketetapan hati untuk melakukan
sesuatu). Pengertian kedua ini ditemukan dalam surat Yunus, 10: 71:
... maka bulatkanlah
keputusanmu dan kumpulkanlah) sekutu-sekutumu..
Perbedaan antara pengertian kedua terletak
pada kuantitas (jumlah) orang yang berketetapan hati. Pengertian pertama
mencukupkan satu tekad saja, sedangkan untuk pengertian kedua memerlukan tekad
kelompok.[3] Perbedaan rumusan itu dapat dilihat dari beberapa rumusan atau definisi ijma’
sebagai berikut:
a) Al-Ghazali merumuskan ijma’dengan:
اتِّفَاقُ جَمِيعِ الْمُجْتَهِدِينَ مِنْ
أُمَّةِمُحَمَّدٍ
فِي
عَصْرٍ مَا بَعْدَ عَصْرِهِ
عَلَى
أَمْرٍ شَرْعِيٍّ
Kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama.
Meskipun dalam istilah ini
dikhususkan kepada umat Nabi Muhammad, namun mencakup jumlah yang luas yaitu
seluruh umat Nabi Muhammad atau umat Islam. Pandangan Imam Ghazali ini
mengikuti pandangan Imam Syafi’i yang menetapkan ijma’ itu sebagai
kesepakatan umat. Hal ini tampaknya didasarkan pada keyakinan bahwa yang
terhindar dari kesalahan hanyalah umat secara keseluruhan, bukan perorangan.
Namun pendapat Imam Syafi’i ini mengalami perubahan dan perkembangan di tangan
pengikutnya di kemudian hari.
b) Al-Amidi yang juga pengikut Syafi’iyah merumuskan ijma’:
Ijma’ adalah kesepakatan sejumlah Ahlul Halli wal ‘Aqd (para ahli yang
berkompeten mengurusi umat) dari umat Muhammad pada suatu masa atau hukum suatu
kasus.
Kelihatannya Imam al-Amidi
membatasi ijma’ itu pada kesepakatan orang-orang tertentu dari umat Nabi
Muhammad, yaitu orang-orang yang mempunyai fungsi sebagai pengungkai dan
pengikat atau para ulama yang membimbing kehidupan keagamaan umat Islam. Dalam
hal ini orang awam tidak diperhitungkan kesepakatannya. Namun lebih lanjut
terlihat, bahwa al-Amidi masih memberikan kemungkinan masuknya orang awam dalam
penetapan ijma’ dengan ketentuan ia telah mampu berbuat hukum. Untuk
maksud ini al-Amidi memberikan alternatif definisi ijma’ sebagai
berikut:
Kesepakatan para mukallaf dari umat Muhammad pada suatu masa atas hukum
suatu kasus.
Definisi yang dikemukakan ulama Ahl
al-Sunnah berkisar di sekitar definisi yang dikemukakan al-Amidi tersebut
di atas meskipun berbeda dalam perumusannya, yakni, kesepakatan orang yang
bernama ulama atau ahl as-halli wa al-‘aqdi.
c) Definisi yang berbeda secara substantial adalah apa
yang dikemukakan ulama Syi’ah. Mereka tidak menitikberatkan pada kata ‘semua”.
Tetapi cukup pada kelompok atau beberapa orang asalkan kelompok itu mempunyai
wewenang dalam menetapkan hukum. Untuk tujuan ini ulama Syi’ah merumuskan
definisi ijma’ sebagai berikut:
Kesepakatan suatu komunitas karena kesepakatan mereka dalam menetapkan
hukum syara’
Ulama Syi’ah tidak mengharuskan
kesepakatan menyeluruh dan mencukupkan dengan kesepakatan kelompok, karena
menurut mereka kesepakatan kelompok ini bukan untuk menetapkan hukum tersendiri
di luar apa yang telah ditetapkan olah Qur’an dan Sunnah. Bagi mereka ijma’ itu
hanya untuk menemukan adanya Sunnah yaitu ucapan atau perbuatan seseorang yang
dianggap ma’shum atau terbebas dari dosa yang dalam hal ini, menurut
mereka, adalah Nabi Muhammad dan Ahlul bait (Keturunan Nabi dari
Fathimah serta Hasan dan Husen).
d) Al-Nazham (pemuka kelompok Nazhamiyah, satu pecahan
dari Mu’tazilah) mengemukakan rumusan lain tentang ijma’.
Setiap perkataan yang hujjahnya tidak dapat dibantah.
Maksudnya: “Setiap ucapan atau
pendapat yang dapat ditegakkan sebagai hujjah syari’iyah, meskipun ucapan
seseorang”.[4]
2.2 Rukun- Rukun Ijma’
Dalam definisi
ijma telah disebutkan bahwa ia adalah : kesepakatan para mujtahid lah teknis
hukum atau dari umat islam pada suatu masa atas hukum Syara definisi ini dapat
di ambil kesimpulan bahwa rukun ijma dimana menurut Syar’i ia tidak akan
terjadi kecuali dengan keberadaanya, adalah empat, yaitu:
Pertama:
adanya sejumlah para mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa karena
sesungguhnya kesepakatan tidak mungkin dapat tergambar kecuali pada sejumlah
pendapat, dimana masing-masing pendaapat sesuai dengan pendapat lainya. Maka
kalau sekiranya pada suatu waktu tidak terdapat sejumlah para mujtahid,
Misalnya tidak ditemukan seorang mujtahid sama sekali, atau hanya di temukan
seorang mujtahid, maka secara Syara’ tidak akan terjadi ijma’ pada waktu itu.
Oleh karena inilah, maka tidak ada ijma’ pada masa Rosululloh SAW ., karena
hanya belio sendirilah mujtahid waktu itu.
Kedua: adanya kesepakatan seluruh mujtahid di kalangan umat islam terhadap
hukum Syara mengenai suatu kasus atau peristiwa pada waktu terjadinya tanpa
memandang negeri mereka, kebangsaan mereka, ataupun kelompok mereka. Maka kalau
seandainya para mujtahid negeri makkah dan madinah saja ataupun para mujtahid
negri irak saja, atau mujtahid negeri hijaz saja, atau para mujtahid ahli bait,
atau para mujtahid ahli sunah, bukan mujtahid golongan Syi’ah sepakat atas
hukum Syara’ Mengenai suatu peristiwa, maka dengan kesempatan kusus ini
tidaklah sah ijma’ Menurut Syara’. Karena ijma’ itu tidak bisa terjadi kecuali
dengan kesempatan umum dari semua mujtahid dunia islam pada masa suatu kejadian
selain mujtahid tidak masuk penilaian.
Ketiga: Bahwasanya kesepakatan mereka adalah dengan mengemukakan pendapat
masing-masing orang dari para mujtahid itu tentang pendapatnya yang jelas
mengenai suatu peristiwa, baik penyampaian pendapat masing-masing mujtahid itu
berbentuk ucapan, misalnya Ia memberikan fatwa mengenai peristiwa itu, atau
berbentuk perbuatan, misalnya ia memberikan suatu putusan mengenainya; baik
masing-masing dari mereka mengemukakan pendapatnya pendapat mereka, atau mereka
menemukakan pendapat, mereka secara kolektif, misalnya para mujtahid di dunia
islam mengadakan suatu konggres pada suatu masa terjadinya suatu peristiwa, dan
peristiwa itu dihadapkan kepada mereka, dan setelah mereka bertukar orientasi
pandangan, maka mereka seluruhnya sepakat atau satu hukum mengenainya.
Keempat: bahwa kesepakatan dari seluruh mujtahid atau suatu hukum itu
terealisir. Kalau sekiranya kebanyakan dari mereka sepakat, maka kesepakatan
yang terbanyak iti tidak menjadi ijma’, kendatipun amat sedikit jumlah mujtahid
yang menentang dan besar sekali jumlah mujtahid yang sepakat karena sepanjang
masih dijumpai suatu perbedaan pendapat, maka masih ditemukan kemungkinan benar
pada salah satu pihak dan kekeliruan pada pihak lainya. Oleh karena itu, maka
kesepakatan jumlah terbanyak tidak menjadi hujjah Syar’iyah yang pasti dan meningkat.[5]
2.3 Syarat Ijma’
Di samping rukun di atas, Jumhur Ulama ushul fiqh,
mengemukakan pula syarat-syarat ijma’, yaitu:
1. Yang
melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan
ijtihad.
2. Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat
adil (berpendirian kuat terhadap agamanya).
3. Para
mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau
perbuatan bid’ah.
Ketiga syarat ini disepakati oleh seluruh ulama
ushul fiqh. Ada juga syarat lain, tetapi tidak disepakati para ulama,
diantaranya:
1)
Para
mujtahid itu adalah sahabat.
2)
Mujtahid itu kerabat Rasulullah, apabila
memenuhi dua syarat ini, para ulama ushul fiqh menyebutnya dengan ijma’
shahabat.
3)
Mujtahid itu adalah ulama Madinah.
4)
Hukum yang disepakati itu tidak ada yang
membantahnya sampai wafatnya seluruh mujtahid yang menyepakatinya.
5)
Tidak terdapat hukum ijma’ sebelumnya
yang berkaitan dengan masalah yang sama.[6]
2.4 Kehujjahan Ijma’
Jumhur ulama ushul fiqh berpendapat apabila
rukun-rukun ijma’ telah terpenuhi, maka ijma’ tersebut menjadi
hujjah yang qath’i (pasti), wajib diamalkan dan tidak boleh
mengingkarinya, bahkan orang yang mengingkarinya dianggap kafir. Di samping
itu, permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya melalui ijma’, menurut
para ahli ushul fiqh tidak boleh lagi menjadi pembahasan ulama generasi
berikutnya, karena hukum yang ditetapkan melalui ijma’ merupakan hukum
syara’ yang qath’i dan menempati urutan ketiga sebagai dalil syara’
setelah al-Qur’an dan Sunnah.[7]
Alasan Jumhur Ulama ushul fiqh yang mengatakan
bahwa ijma’ merupakan hujjah yang qath’i dan menempati urutan
ketiga sebagai dalil syara’ adalah:
a. Firman
Allah swt. Dalam surat al-Nisa’ ayat 59:
Wahai orang-orang yang beriman taatilah Alah dan
taatilah Rasul dan uli al-amri di antara kamu...
Menurut Jumhur Ulama ushul
fiqh, lafal uli al-amr dalam ayat itu bersifat umum, mencakup para
pemimpin di bidang agama (para mujtahid dan pemberi fatwa) dan dunia (pemimpin
masyarakat, negara, dan perangkatnya). Ibn ‘Abbas menafsirkan uli al-amr ini
dengan para ulama.
Ayat lain yang dikemukakan
Jumhur Ulama adalah surat al-Baqarah,ayat 143, Ali Imran ayat
110, dan al-Syura ayat 10. Imam Ghazali (450-505 H/1058-1111 M),
mengemukakan ayat lain yang dijadikan Jumhur sebagai alasan kehujjahan ijma’
, yaitu firman Allah dalam surat al-Nisa ayat 115,
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا
تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا
تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيرًا
Barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya dan mengikuti jalan bukan jalan orang-orang mu’min, Kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Menurut al-Ghazali, ayat
ini menunjukkan bahwa Allah menjadikan orang-orang yang tidak mengikuti
cara-cara yang ditempuh umat Islam sebagai orang yang menentang Allah dan
Rasul-Nya, dan menentang Allah dan Rasul-Nya hukumnya haram.
b. Alasan
Jumhur Ulama dari hadits adalah sabda Rasulullah saw.:
Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap yang
salah. (H.R. al-Tirmidzi)
Dalam lafaz lain disebutkan:
إِنَّ أُمَّتِي لاَ يَجْتَمِعُ عَلىَ
ضَلاَلَةٍ
Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap suatu
kesesatan.
Dalam hadits lain
Rasulullah saw. bersabda:
عَلَيْكُمْ باِلجَمَاعَةِ وَإيَّاكُمْ
وَالفُرْقَةَ فَإِنََّ الشَّيْطَانَ مَعَ الوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الإِثْنَيْنِ
أَبْعُد[8]
Hendaklah kalian berjamaah dan jangan bercerai berai,
karena syetan bersama yang sendiri dan dengan dua orang lebih jauh. (HR
At-Tirmidzi)
Lebih lanjut Rasulullah
saw. bersabda:
منْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ قِيدَ شِبْرٍ
فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الإِسْلامِ مِنْ عُنُقِهِ إِلاّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَالَ
رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنْ صَلَّى وَصَامَ؟
قَالَ : وَإِنْ صَلَّى وَصَامَم
Dari al-Harits al-Asy’ari dari Nabi SAW
bersabda:’Siapa yang meninggalkan jamaah sejengkal, maka telah melepaskan
ikatan Islam dari lehernya kecuali jika kembali. Seseorang bertanya,’ Wahai
Rasulullah, walaupun dia sudah mengerjakan shalat dan puasa?’. Maka Rasulullah
SAW menjawab:’Walaupun dia shalat dan puasa.’ (HR Ahmad dan at-Turmudzi)
Seluruh hadits itu menurut
Abdul Wahhab Khalaf, menunjukkan bahwa suatu hukum yang disepakati seluruh
mujtahid sebenarnya merupakan hukum umat Islam seluruhnya yang diperankan oleh
para mujtahid mereka. Oleh sebab itu, sesuai dengan kandungan hadits-hadits di
atas, tidak mungkin para mujtahid tersebut melakukan kesalahan dalam menetapkan
hukum. Apabila seluruh umat telah sepakat melalui para mujtahid mereka maka
tidak ada alasan untuk menolaknya.[9]
2.5 Macam-macam Ijma’
Adapun ijma’ ditinjau dari segi cara
menghasilkanya, maka ia ada dua macam yaitu:
Pertama: Ijma’ Sharih, yaitu: kesepakatan para
mujtahid suatu masa atas hukum suatu kasus, dengan cara masing-masing dari
mereka menemukakan pendapatnya secara jelas melalui fatwa atau putusan hukum.
Maksudnya bahwasanya setiap mujtahid mengeluarkan pernyataan atau tindakan yang
mengungkapkan pendapatnya secara jelas.
Kedua: Ijma’ Sukuti, yaitu: sebagian dari mujtahid
suatu masa mengemukakan pendapat mereka secara jelas mengenai suatu kasus baik
melalui fatwa atau suatu putusan hukum, dan sisa dari mereka tidak memberikan
tanggapan terhadap pendapat tersebut, baik merupakan persetujuan terhadap
pendapat yang telah dikemukakan atau menentang pendapat itu.[10]
Adapun
macam yang pertama yaitu Ijma’ Sharih, maka itu ijma yang hakiki dan ini
merupakan hujjah syar’iyah dalam madzhab jumhur ulama.sedangkan macam yang
kedua yaitu ijma’ syukuti, maka ia adalah ijma I’tibari (anggapan), karena
sesungguhnya orang yang dian saja tidak ada kepastian, bahwa ia setuju. Oleh
karena itu, tidak ada kepastian mengenai terwujudnya kesepakatan dan terjadinya
ijma’, dan karena inilah maka ia masih dipertentangkan kehujjahannya. Jumhur
ulama berpendapat bahwa ijma’ sukuti bukanlah hujjah, dan bahwa ijma tersebut
tidak lebih dari keadaanya sebagai pendapat sebagian dari individu para
mujtahid.
2.6 Fungsi Ijma’
Yang
dimaksud fungsi ijma’ di sini adalah kedudukannya dihubungkan dengan
dalil lain, berupa nash atau bukan. Memang pada dasarnya ijma’ itu,
menurut ulama Ahl as-Sunnah mempunyai kekuatan dalam menetapkan hukum dengan
sendirinya. Tetapi dalam pandangan ulama Syi’ah, ijma’ itu adalah hanya
untuk menyingkapkan adanya ucapan seseorang yang ma’shum. Dalam hal ini
terlihat ada dua pandangan yang berbeda mengenai kedudukan dan fungsi ijma’ dilihat
dari sudut pandangan masing-masing kelompok.
Dalam
pandangan ulama yang berpendapat bahwa untuk kekuatan suatu ijma’ tidak
diperlukan sandaran atau rujukan kepada suatu dalil yang kuat, ijma’ itu
berfungsi menetapkan hukum atas dasar taufiq Allah yang telah dianugrahkan
kepada ulama yang melakukan ijma’ tersebut. Dalam pandangan ini tampak
bahwa kedudukan dan fungsi ijma’ itu bersifat mandiri.
Dalam
pandangan ulama yang mengharuskan adanya sandaran untuk suatu ijma’ dalam
bentuk nash atau qiyas, maka ijma’ itu berfungsi untuk
meningkatkan kualitas dalil yang dijadikan sandaran itu. Melalui ijma’ dalil
yang asalnya lemah atau zhanni menjadi dalil yang kuat atau qath’i, baik dalil
itu berbentuk nash atau qiyas.[11]
2.7 Problematika Ijma’
Kebanyakan
ahli ushul menetapkan, bahwa ijma’ menurut makna atau ta’rif yang diberikan
oleh kebanyakan ahli ushul, dipandang suatu dasar dari dasar-dasar syari’at
sebagai yang sudah dijelaskan.
Akan
tetapi, jika masalah ini dibahas dengan seksama, ditinjau dari segala aspeknya
jelaslah bahwa : masalah menjadikan ijma’ sebagai dasar agama, atau hujjah,
bukanlah masalah yang disepakati. Banyak diantara ulama mujtahidin walaupun
mereka membenarkan ta’rif ijma’ yang telah diterangkan, menetapkan bahwa ijma’
yang seperti itu tidak mungkin terjadi.
Imam
Ahmad bin Hanbal menetapkan bahwa “kemungkinan terjadinya ijma’ sesudah masa
sahabat tak dapat diterima lagi karena para ulama islam telah bertebaran sampai
kepelosok. Mengumpulkan mereka itu untuk mencapai kata sepakat (ijma’) bukanlah
suatu hal yang mudah lagi, bahkan hampir bisa dikatakan mustahil dan belum
pernah kita dengar bahwa mereka seluruhnya telah berkumpul di kota itu untuk
menyepakati sesuatu hukum. Bahkan imam Ahmad itu mengingkari terjadinya ijma’
yang diartikan dengan arti ahli ushul itu di masa sahabat sendiri. Beliau
mengatakan “barang siapa mengatakan berarti ia telah berdusta”. Cukuplah ia
katakan “aku tak tahu ada orang yang menyalahi pendapat ini”. Karena boleh jadi
telah ada yang menyalahi yang belum sampai berita ini kepadanya.
Abu
Muslim Al Ashfahani mengatakan bahwa “ para ulama menetapkan bahwa ijma’
sahabat itu dipandang (diterima) ijma’ orang dibelakang sahabat diperselisihi.
Abu Muslim menetapkan pula, bahwa ijma sesudah sahabat tak mungkin diketahui
ada/terjadi. Dia menandaskan bahwa “sukar kita mengetahui ada/terjadi ijma’
selain dari ijma’ sahabat yang masih sedikit jumlah orang-orang yang dipandang
ahli ijma’. Keadaan itu memungkinkan meraka berkumpul atau memberi persetujuan
kepada sesuatu pendapat orang lain. Mereka masih sedikit jumlahnya dan masih
tinggal setempat, adapun sekarang sudah islam tersebar ke seluruh pelosok,
banyak bilangan ulama, tak mungkin lagi kita meyakini ada terjadinya ijma’
(kata sepakat) diantara mereka itu. Apa yang ditetapkan Abu muslim ini itulah
yang dipegang teguh oleh Ahmad yang masih dekat masanya kepada masa sahabat dan
yang sangat luas hafalannya terhadap segala urusan yang dinukilkan.
Ringkasnya
ijma’ sesudah masa sahabat tidak mungkin terjadi. Akan tetapi ijma’ dalam arti
“mengumpulkan para ahli bermusyawarah sebagai ganti para amirul mu’minin”
itulah yang mungkin terjadi. Dan inilah ijma’ yang terjadi di masa Abu Bakar
dan Umar.[12]
BAB
III
PENUTUP
Dari keterangan
diatas dapat di fahami bahwa ijma harus menyandar kepada dalil yang ada yaitu
kitab, sunah, atau yang mempunyai kaitan kepadanya baik langsung maupun tidak
dan tidak mungkin terlepas sama sekali dari kaitan tersebut. Dan alasan ijma
harus mempunyai sandaran adalah:
Pertama:
bahwa bila ijma’ tidak mempunyai dalil tempat sandaranya, ijma’ tidak akan
sampai pada kebenaran.
Kedua: bahwa keadaanya sahabat tidak mungkin lebih baik dari pada nabi,
sebagaimana diketahui, Nabi saja tidak pernah menetapkan suatu hukum kecuali
berdasarkan kepada wahyu.
Ketiga: bahwa pendapat tentang agama tanpa menggunakan dalil adalah salah.
Kalau mereka sepakat berbuat begitu berarti mereka sepakat melakukan kesalahan;
Keempat: pendapat yang tidak di sandarkan kepada dalil tidak dapat di ketahui
kaitanya kepada hukum Syara’. Kalau tidak dapat dihubungkan dengan Syara tidak
wajib diikuti.
Demikianlah
makalah yang dapat penulis paparkan, tentunya masih sangat jauh dari
kesempurnaan tapi semoga saja yang kita pelajari ini bermanfaat, dengan harapan
bisa menambah pengetahuan dan keilmuan bagi kita semua. Kritik dan saran yang
bersifat membangun sangan diharapkan untuk menjadi koreksi kedepan dan terima
kasih kepada bapak dosen yang telah membimbing saya semoga kita semua
mendapat barokah dan kemanfa’atan ilmunya. Amien
DAFTAR PUSTAKA
Abd.Al-HavyAl-Farmawi,
Al-Bidaya’yah At Tafsir Al-Mawdhu’i, Beirut: Dar Al-fikr 1996
Boedi Abdullah, ilmu
ushul fiqh, Bandung : CV pustaka setia, 2008
Ash
Shiddieqy ,Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Hukum Islam. Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 1997
Haroen, Nasrun, Ushul
Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Khallaf,
Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dita Utama, 1994
Syarifuddin, Amir,
Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
[1] Boedi Abdullah, ilmu ushul fiqh, Bandung : CV pustaka setia, 2008. Hal. 165
[2] Qs : Yusuf ayat 15
[3] DR. H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Hlm.51
[4] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997. Hlm.113-114
[5] Prof. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama (Toha putra Group),1994. Hlm.57
[6] Ibid, DR. H. Nasrun Haroen, M.A., Hlm.53-54
[7] Ibid, Hlm.54
[8] Abd.Al-HavyAl-Farmawi, Al-Bidaya’yah At Tafsir Al-Mawdhu’i, Beirut: Dar Al-fikr 1996. Hal. 123
[9] Ibid, DR. H. Nasrun Haroen, M.A., Hlm 123
[10] Opcit, Prof. Abdul Wahab Khallaf, hlm 64
[11] Ibid, Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Hlm 133-134
[12] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997. Hlm.193
Penutup
Dengan mengakhiri eksplorasi tentang Ijma' dan kehujahannya, kita memahami bahwa Ijma' bukanlah sekadar kesepakatan tanpa dasar yang kuat. Ijma' membutuhkan landasan keilmuan dan proses diskusi yang cermat di kalangan ulama untuk dapat dianggap sebagai sumber hukum yang sah dalam Islam. Kita diingatkan untuk memahami dan menghargai kehujahan Ijma' sebagai bagian integral dari warisan hukum Islam.
Semoga makalah ini memberikan wawasan yang lebih dalam tentang konsep Ijma' dan memberikan penghormatan yang semestinya terhadap metode ini sebagai sumber hukum Islam yang sah. Dengan pemahaman yang lebih mendalam, diharapkan kita dapat mengaplikasikan prinsip-prinsip hukum Islam dengan lebih baik dalam kehidupan sehari-hari, memperkuat pondasi moral dan etika umat Islam, serta menjadikan hukum Islam sebagai pedoman yang bijaksana dan relevan dalam menghadapi tantangan zaman.