Pembukaan
Makalah ini menyajikan analisis mendalam tentang istinbath (penetapan hukum) dalam pandangan NU, Muhammadiyyah, dan MUI. Dengan mengeksplorasi pendekatan, metode, dan kriteria masing-masing organisasi, kita dapat memahami peran istinbath dalam membentuk kerangka hukum Islam di Indonesia. Mari bersama-sama menyelami kompleksitas dan keberagaman perspektif ini.
Contoh Makalah Istinbath NU, Muhammadiyah dan MUI
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Indonesia
merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama islam, daripada
agama-agama lain, seperti hindu, buda, kristen dan sebagainya, yang jauh lebih
sedikit pemeluknya dibandingkan dengan agama islam. Namun, islam sendiri di indonesia
terbagi-bagi menjadi beberapa golongan atau organisasi, yang masing-masing
punya banyak perbedaan-perbedaan. Seperti tiga organisasi islam terbesar di indonesia,
yaitu: Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Ketiga organisasi islam ini sangat berperan penuh terhadap perkembangan indonesia,
baik aspek sosial, ekonomi, agama, budaya dan sebagainya. Dan yang menarik di
sini adalah, walaupun ketiga organisasi islam ini bersama-sama andil dalam
pengembangan indonesia,
sebenarnya ketiga organisasi islam ini mempunyai perbedaan-perbedaan, yang
salah satunya adalah metode istinbat yang digunakan berbeda-beda.
B.
RUMUSAN MASALAH
Dalam penulisan makalah ini penulis merumuskan pokok pembahasan sebagai
berikut;
1.
Apa saja macam-macam metode istinbath?
2.
Bagaimana Perumusan Hukum Islam (istinbath)
yang dikakukan oleh Nahdlatul Ulama’ (NU)?
3.
Bagaimana Perumusan Hukum Islam (istinbath)
yang dikakukan oleh Muhammadiyyah?
4.
Bagaimana Perumusan Hukum Islam (istinbath)
yang dikakukan oleh Majlis Ulama’ Indonesia (MUI)?
5.
Seperti apa kelemahan Istinbath NU,
Muhammadiyyah dan MUI?
...........................
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Macam-macam metode istinbat
Untuk mengetahui metode-metode istinbat dari Nahdlatul Ulama,
Muhammadiyah dan Majlis Ulama Indonesia, perlu diketahui terlebih dahulu
mengetahui macam-macam metode istinbat. Al-Dawalibi, sebagaimana dikatakan oleh
Wahbah membagi metode istinbat kepada tiga macam, yaitu bayani, qiyasi dan
istishlahi.[1]
Pertama metode bayani, metode istinbat hukum islam yang mana cara
pemecahan kasus atau masalah langsung digali dari alqur’an dan as-sunah. Tugas
mujtahid di sini adalah menjelaskan, menguraikan dan menganalisis isi kandungan
kedua sumber hukum itu, sehingga dikeluarkan produk hukum. Asumsi metode bayani
adalah bahwa seluruh masalah yang terjadi pada manusia telah ditercaver di
dalam kedua sumber hukum tersebut, sehingga tidak ada lagi dallil kecuali dari
alqur’an dan as-sunah.
Kedua, metode qiyasi, yaitu metode istinbat hukum islam yang mana cara
pemecahan kasus atau masalah tidak langsung dirujuk dari alqur’an dan
as-sunah, melainkan berdasarkan persamaan motif (illat). Karena dasar hukum
yang dipecahkan belum ada dasar hukumnya, maka ia dapat menganalogikan dengan
dasar hukum kasus atau masalah lain berdasarkan kesamaan motif. Asumsi
metode qiyasi adalah bahwa tidak semua masalah yang terjadi pada manusia talah
ditercafer di dalam kedua sumber hukum tersebut, sehingga perlu
mencari dalil yang mirip karena persamaan illat. Tugas mujtahid di sini
adalah mencari illat yang tersembunyi di dalam nash, sehingga dapat dikeluarkan
produk hukum kasus tertentu berdasarkan kesamaan illat.
Ketiga, metode istishlahi, menetapkan hukum islam yang mana cara
pemecahan kasus atau masalah tidak langsung dirujuk dari alqur’an dan as-sunah,
melainkan berdasarkan pertimbangan kemaslahatan yang diambil dari
prinsip-prinsip dasar kedua sumber hukum islam. Kasus yang dipecahkan
tidak ada acuan dalil, sehingga hanya mengambil hikmah atau falsafah hukum yang
tekandung dalam nash untuk kemudian diterapkan dalam pemecahan kasus
tersebut.
B. Istinbath Nahdlatul Ulma’ (NU)
Menelusuri metode istinbath Nahdlatul Ulma’ (NU), tidak bisa terlepas dari
peran ‘pabrik’ bernama Bahtsul Masail–pembahasan masalah (selanjutnya
disingkat BM). Meskipun NU mengakui al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber utama
hukum Islam, namun dalam prakteknya, istinbath al-ahkam di kalangan NU tidak
lantas dipahami sebagai “mengambil hukum secara langsung dari kedua sumber
primer di atas, tetapi penggalian hukum dengan men-tathbiq-kan (menerapkan)
nash al-fuqaha’ –terutama di lingkungan Mazhab Syafi’i– secara dinamis, dalam
konteks permasalahan hukumnya.” Dengan pengertian istinbath ini, wajar bila
keputusan-keputusan hukum NU tidak merujuk langsung pada kedua sumber utama
tadi, tapi merujuk pada kutub al-fiqh al-mu’tabarah (kitab fiqih yang diakui
NU). Sedangkan ushul al-fiqh dan qawaid al-fiqhiyyah diposisikan sebagai
penguat keputusan hukum yang diambil.
Istinbath seperti ini dilakukan NU, lantaran ijtihad muthlaq dianggap
terlampau berat dan sulit. Sebab, ijtihad muthlaq harus dilakukan mujtahid yang
telah menguasai ragam keilmuan agama dan perangkat-perangkatnya. Tembok
keterbatasan inilah yang tidak bisa ditembus orang-orang saat ini. Di samping
itu, ijtihad dalam koridor mazhab tertentu memang praktis, juga dapat ditempuh
semua ulama NU yang memahami ibarat (uraian) kitab-kitab fiqih. Atas dasar itu
pula, klaim istinbath tidak begitu populer di kalangan ulama NU, sehingga boleh
jadi BM menjadi kata kunci untuk menghindar dari term ijtihad dan istinbath itu
sendiri.
Dengan demikian, berbeda dengan Muhammadiyah yang mengembangkan mazhab
manhaji ( bermazhab pada metode), konsep mazhab dalam NU lebih pada mazhab
qauli (bermazhab pada pendapat hukumnya), kendati pada Munas Alim Ulama NU 1992
mulai terjadi pergeseran dengan diperkenalkannya istilah mazhab manhaji. Hanya
saja dalam prakteknya, ijtihad manhaji ini masih “setengah hati.”
Adapun rumusan sistem pengambilan hukum yang dihasilkan Munas Alim Ulama
1992 itu adalah: 1) Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ‘ibarat kitab
dan di sana
hanya terdapat satu qaul/wajh (satu jenis pendapat), maka qaul/wajh yang
dipakai seperti yang diterangkan dalam ‘ibarat tersebut. 2) Dalam kasus ketika
jawaban bisa dicukupi oleh ‘ibarat kitab dan di sana terdapat lebih dari satu qaul/wajh, maka
dilakukan taqrir jama’i (ketetapan bersama) untuk memilih satu qaul/wajh. 3)
Dalam kasus tidak ada qaul/wajh sama sekali yang memberi penyelesaian, maka
dilakukan prosedur ilhaq al-masail bi nadhairiha (analogi dari kitab fiqih)
oleh para ahlinya. 4) Dalam kasus yang tidak ada qaul/wajh sama sekali dan
tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka dilakukan istinbath jama’i (penggalian
hukum secara kolektif) dengan prosedur bermazhab secara manhaji oleh para
ahlinya. Koridor mazhab yang dipakai dalam konteks ini adalah Mazhab Syafi’i.
Karena itu, keputusan hukum yang diambil NU jarang yang langsung merujuk pada
al-Qur’an atau Sunnah, tapi lebih dominan merujuk pada qaul imam mazhab.
Kenyataan ini menunjukkan, BM dalam NU belum dapat dikatakan
memuaskan, baik untuk kepentingan ilmiah maupun sebagai upaya praktis
menghadapi tantangan zaman. Praktik istinbath seperti ini mencerminkan problem
metodologis, karena berarti NU hanya terpaku dan terikat pada satu mazhab
(Syafi’i) meski AD/ART NU memungkinkan untuk mengikut mazhab yang lain.
Ketidakpuasan juga muncul, lantaran cara berfikir yang tekstual dan cenderung
menafikan realitas yang tidak sesuai dengan rumusan kitab kuning, tanpa memberi
jalan keluar.
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai jam’iyyah sekaligus
gerakan diniyah islamiyah sejak awal berdirinya telaha menjadikan faham
Ahlussunah Waljamaah sebagai basis teologi,(dasar beraqidah) dan menganut salah
satu mazhab dari empat mazhab sebagai pegangan dalam berfiqih, yaitu Imam
Syafi’i. NU dalam kesehariannya lebih banyak menggunakan fiqih masyarakat Indonesia
yang bersumber dari mazhab Imam Syafi’i. Hampir dapat dipastikan bahwa
fatwa, petunjuk, dan keputusan hukum yang diberikan oleh ulama NU dan kalangan
pesantren selalu bersumber dari Imam Syafi’i. Hanya kadang-kadang dalam keadaan
tertentu, untuk melawan budaya konfensional, berpaling ke mazhab lain.[2] Para ulama NU mengarahkan orientasinya dalam pengambilan
hukum kepada aqwal al-mujtahidin (pendapat para mujtahid) yang mutlak
maupun muntashib. Bila terjadi perbedaan pendapat (khilaf) maka diambil yang
paling kuat sesuai dengan pentarjihan ahli tarjih. Dalam memutuskan sebuah
hukum, NU mempunyai sebuah forum yang dinamakan Basul Masail yang bertugas
mengambil keputusan tentang hukum-hukum islam. Dalam menggali hukum, NU
beristinbat (menggali dari teks asal atau dasar maupun ilhaq (qiyas).
Pengertian istinbat di kalangan NU bukan mengambil langsung dari sumber aslinya
qur’an dan hadis, akan tetapi sesuai dengan sikap dasar bermazhab-mentathbiqkan
(memberlakukan secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan
yang dicari hukumnya.
C.
Istinbath Muhammadiyyah
Menelusuri metode istinbath
Muhammadiyah, sebagaimana NU, Muhammadiyyah juga tidak bisa terlepas dari peran
Majlis Tarjih (selanjutya disingkat MT), lembaga yang berfungsi sebagai “pabrik
hukum”. Sebelum keputusan final sebuah hukum digulirkan kepada publik, terlebih
dahulu para cendekiawan Muhammadiyah melakukan penggodokan secara serius dan
matang di dalam MT ini. Di sanalah, proses-proses istinbath
dipraktekkan.
Secara harfiyah, pada mulanya tarjih bermakna “membandingkan pendapat
satu dengan yang lain untuk memilih pendapat yang paling kuat.” Dengan kata
lain, tarjih adalah menguatkan salah satu dari dua pendapat atau lebih dengan
argumen tertentu. MT pada mulanya memang tak lebih sebagai lembaga untuk
menguatkan satu dari beberapa pendapat yang sudah ada sebelumnya. Namun pada
perkembangannya, MT tidak lagi sekedar menguatkan pendapat-pendapat yang telah
ada itu, melainkan juga turut ber-ijtihad dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan baru yang ditemukan.
Peran seperti ini diawali pada 1960-an, terkait persoalan perburuhan,
pembatasan kelahiran, dan hak milik. Pada 1968, bahkan MT berhasil menetapkan
hukum atas isu-isu kontemporer, seperti bunga bank, judi nalo dan lotre, KB,
dan sebagainya. Dengan demikian, makna tarjih itu sendiri telah mengalami
perluasan, tidak sekedar “menguatkan” dan “memilih” salah satu dari berbagai
pendapat, tapi juga berfungsi “mencari” untuk memecahkan masalah baru. Karena
itulah, MT kemudian diklaim oleh Muhammadiyah sebagai lembaga ijtihad, sebuah
penamaan yang sangat prestisius. Muhammadiyah memang dikenal sebagai lembaga
yang tidak canggung dengan istilah ijtihad karena mereka berkeyakinan bahwa
pintu ijtihad tetap terbuka lebar.
Adapun runtutan istinbath yang dicanangkan MT, pertama melalui al-Qur’an
dan Sunnah Shahihah, dengan “mengabaikan” pendapat-pendapat para imam fiqih
pasca masa sahabat Rasulullah. Hal ini terkait dengan genealogi intelektualisme
Muhammadiyah yang memang kurang begitu memberi apresiasi terhadap perkembangan
fiqih pada periode yang mereka sebut sebagai periode taqlid (sekitar abad 10
M-18 M). Rentang ini dianggap sebagai periode dimana Islam bercampur-baur
dengan apa yang disebut takhayul, bid’ah, dan khurafat.
Oleh karena itu, bila ada persoalan hukum baru yang mengemuka, maka
selalu dicarikan jawabannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Namun, semua orang tahu
bahwa tidak semua persoalan dapat dicarikan jawabannya secara langsung dalam
al-Qur’an dan Sunnah karena keterbatasannya. Jika tidak ditemukan jawabannya
secara langsung dalam al-Qur’an dan Sunnah
MT menggunakan ijtihad dengan
istinbath dari nash (teks) yang ada melalui persamaan ‘illat (alasan hukum) .
Dengan demikian, kendati qiyas (analogi) tidak diakui secara langsung, namun
dalam prakteknya tetap dikembangkan Muhammadiyah dalam menetapkan hukum.
Sedangkan ijma’, Muhammadiyah hanya menerima ijma’ al-shahabah (kesepakatan
sahabat) yang mengikuti pandangan Ahmad bin Hanbal, yang berarti bahwa ijma’
tak mungkin terjadi pasca generasi sahabat Rasulullah (Khulafa ur- Rasyidin).
Almarhum KH Azhar Basyir, Mantan Ketua PP Muhammadiyah pernah menyatakan,
MT menempuh jalur ijtihad yang meliputi; Pertama, ijtihad bayani, yakni ijtihad
terhadap nash mujmal (teks yang ambivalen) , baik karena belum jelas
makna/maksudnya, maupun karena suatu lafal tertentu mengandung musytarak (makna
ganda), mutasyabih (multi tafsir), dan lain sebagainya. Kedua, ijtihad qiyasi,
yakni menganalogikan apa yang disebut dalam nash pada masalah baru yang belum
ada ketentuan hukumnya, karena persamaan ‘illat. Ketiga, ijtihad istishlahi,
yakni pencarian maslahat berupa perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan,
dan harta.[3]
Berdasarkan kenyataan ini, meski Muhammadiyah memproklamirkan diri tidak
bermazhab, toh dalam praktiknya Muhammadiyah tidak dapat melepaskan diri dari
pemikiran mazhab, meskipun hanya pada tingkat metode atau yang akrab disebut
mazhab manhaji.
Hal lain yang cukup menarik, misalnya terkait fatwa Muhammadiyah tentang
nikah beda agama, antara lelaki muslim dengan wanita ahl al-kitab (Kristen dan
Yahudi). Kendati al-Qur’an terang membolehkan, fatwa Muhammadiyah pada tahun
1989 itu justru mengharamkan. Ayat al-Qur’an yang membolehkan (Q.S. al-Maidah:
5) itupun “diparkir” dengan alasan hifdz al-din (memelihara agama). Muhamadiyah
menyimpulkan –walaupun tanpa melalui penelitian empirik- bila pernikahan itu
dibenarkan, dikuatirkan anaknya akan mengikuti agama ibunya. Sehingga, peluang
kekuatiran ini harus buru-buru ditutup. Pengharaman seperti inilah yang mereka
sebut sebagai haram li sadd al-dzari’ah (mencegah sesuatu yang dikhawatirkan
akan terjadi). Ini artinya, bagi Muhammadiyah, haram li sadd dzari’ah dapat
mengalahkan ayat yang sudah menyebutkan kebolehan menikahi perempuan ahl
al-kitab. Menurut Rumadi, ini jalan berpikir yang luar biasa, karena dengan
sadd al-dzari’ah dijadikan sebagai argumen untuk menutup bunyi eksplisit sebuah
nash. Dalam kasus ini, Muhammadiyah dengan berani melakukan naskh al-nushush bi
sadd al-dzari’ah. Sayangnya, Muhammadiyah tidak cukup mempunyai keberanian
untuk mengembangkan hal ini.
D. Istinbath Majlis Ulama’ Indonesia (MUI)
Majelis Ulama Indonesia merupakan wadah dari berbagai unsur
atau organisasi-organisasi islam yang ada di indonesia. Majelis Ulama Indonesia
mempunyai peranan yang sanagat penting dalam soal keagamaan, sosial budaya dan
sosial politik, sesuai sifat dan tanggung jawab yang dipikulnya. Gambaran
ini terlihat bahwa Majelis Ulama Indonesia yang didirikan tahun 1975,
adalah sebuah institusi yang menurut pedoman dasarnya, anatara lain berfungsi
memberikan fatwa dan nasehat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan
kepada pemerintah dan uamat islam pada umumnya, sebagai amar ma’ruf nahi
mun’kardalam usaha meningkatkan ketahanan nasional.[4]
Dalam merumuskan sesuatu pemikiran hukum atau dalam
memberikan jawaban dan kejelasan hukum kepada masyarakat, MUI menjadikan
alqur’an dan al-hadits sebagai sumber hukum utama. Karena itu segala persoalan
yang muncul selalu dikembalikan kepada kedua sumber hukum tersebut.
Ayat-ayat alqur’an difahami atau ditafsirkan sesuai dengan kaidh-kaidah
penafsiran alqur’an. Begitu pula dengan menafsirkan hadits. Kemudian nash alqur’an
dan hadist dianalisis dengan mempertimbangkan hasil pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Ayat atau hadits ditafsirkan dengan memperhatikan
konteks masa kini, disamping memperhatikan konteks ketika ayat itu diturunkan
atau ketika hadits tersebut dinyatakan.
Majelis Ulama Indonesia selalu menghubungkan metode ijtihad
yang diterapkan pada kasus tertentu dengan tujuan disyari’atkan hukum dalam
islam (maqasyid al-syari’ah). Karena itu, dalam berbagai pertimbangan yang
dijadikan ukuran untuk menetapkan hukum adalah konsep kemaslahatan. Dalam
ranggka pembahasan dan penyelesaian masalah fiqh kontemporer, majelis ulama
ternyata telah memahaminya dengan kerangka teori illat al-hukum atau pendekatan
metodologi ta’lily, yakni memperhatikan maslahah, baik yang termasuk
peringkat daruriyyah, hajiyyah, maupun tahsiniyah. Dengan demikian majelis
ulama indonesia
dalam mengeluarkan suatu produk hukum, telah melakukan kajian hukum secara
intensif dengan mengerahkan segenap kemampuan yang mereka miliki, untuk
memperoleh rumusan-rumusan hukum sesuai dengan kehengdak syar’i, dengan
senantiasa mengkaji dalil-dalil tafsili yang terungkap dalam alqur’an dan
sunah. Dan pendapat mazhab ahli ushul klasik diletakkan sebagai contoh sejarah
yang telahpun pernah ada dalam penyelesaian persoalan yang perpadanan.
Selanjutnya dalam menjalankan fungsinya sebagai majelis
ulama, yang diberi amanah untuk memberikan fatwa-fatwa dan nasehat, serta
memberikan jawaban hukum terhadap persoalan-persoalan baru, para ulama yang
tergabung dalam organisasi majelis ulama tersebut telah melakukan kajian
ijtihadi, dengan idealisme kembali kepada dalil-dalil syri’ah. Akan tetapi
kekayaan khasanah hukum yang diformulasikan dengan berbagai bentuknya sejak
zaman salaf sampai zaman modern ini, semakin sulit bagi mereka untuk keluar
dari pemikiran-pemikiran para ulama pendahulunya itu, sehingga walaupun secara
fungsional majelis ulama memiliki tugas untuk mengkaji dalil-dalil yang menjadi
landasan pemikiran fiqh (tarjih al-dalalail), mereka sulit untuk menghindari
kajian pemikiran yang telah ada(tarjih al-fatawa), sehingga fatwa-fatwa fiqh
dari majelis ulama tersebut kemidian merupakan rekontruksi pemikiran-pemikiran
yang telah ada, setelah dikaji kekuatan dalil serta faliditi metode yang
digunakan para ulama sebelumnya itu. Kendati demikian, mereka telah
melaksanakan fungsi ijtihadnya, walaupun sebatas ijtihad tarjih, dan
sewaktu-waktu ijtihad takhrij. Artinya secara teoritik, majelis ulama indonesia
telah mencoba menggunakan dasar-dasar alqur’an, as-sunah, dan ijma’ sebagaimana
digunakan mazhab suni sebelumnya.[5]
Komisi Fatwa dapat dikatakan sebagai “panci pelebur” (melting pot) yang
mempertemukan tradisi fiqih oriented dan akademisi Islam dengan
penguasaan metodologi yang relatif baik. Sehingga, dalam MUI seharusnya terjadi
peleburan antara kecenderungan NU yang teguh memegang tradisi intelektual ulama
klasik, dan paham Muhammadiyah yang melulu memegang al-Qur’an dan Sunnah.
Almarhum Ibrahim Hosen, mantan Ketua Komisi Fatwa MUI 1981, menyatakan;
pemeliharaan atas dharuriyyatal-khams (agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta) sangat diperhatikan MUI tiap mengeluarkan fatwa. Artinya, tiap fatwa MUI
diharapkan mampu mewujudkan kemaslahatan dimaksud, baik yang ukhrawi maupun
dunyawi. Akan tetapi, jika terjadi benturan antara maslahat
non-syar’iyyah dengan nash qath’iy (teks yang sudah jelas), MUI
tidak akan menggunakan maslahat, karena kemaslahatan hanya ditetapkan akal,
sedang nash qath’iy oleh wahyu.[6]
Sisi keunggulan MUI dalam istinbath yang bersifat
“lintas mazhab” dan tidak mempunyai keterikatan dengan mazhab fiqih tertentu,
maka fatwa yang dikeluarkan MUI seharusnya mencerminkan keragaman dari
orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dalam prakteknya, potensi keunggulan
metodologis ini tidak mempunyai dampak apapun karena fatwa-fatwa hukum yang
dikeluarkan MUI senantiasa diwarnai oleh kepentingan politik tertentu, baik
kepentingan rezim, maupun kepentingan para elit MUI sendiri. Di samping itu,
fatwa MUI juga seringkali sekedar “berpendapat” tanpa memberi solusi atas
problem masyarakat. Dominasi kepentingan rezim dapat kita lihat terutama
fatwa-fatwa MUI zaman Orde Baru; dominasi kepentingan elit MUI dapat dilihat
dalam pengharaman umat Islam bertransaksi dengan bank konvensional pada awal
2003 lalu. Sedangkan fatwa pengharaman pengiriman Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke
luar negeri hanya karena tidak ada mahram dapat ditunjuk sebagai contoh bahwa
MUI sekedar mengeluarkan hukum “halal-haram” dalam masalah sosial tanpa memberi
solusi yang memuaskan.
Terlepas dari adanya motif politik di balik pembentukan MUI,
yang jelas majlis para “ulama Indonesia” ini telah menjadi salah satu lembaga
penghasil hukum Islam melalui Komisi Fatwa-nya. Pada awalnya MUI, juga dapat
dianggap sebagai “sintesa” dari lembaga-lembaga seperti NU, Muhammadiyah, DDII,
Persis, dan sebagainya. Karena pluralitas anggotanya, fatwa yang dikeluarkan
MUI seharusnya merefleksikan keragaman pendapat dan kecenderungan intelektual
yang menjadi anggota organisasi Islam itu. Dengan kata lain, Komisi Fatwa dapat
dikatakan sebagai “panci pelebur” (melting pot) yang mempertemukan tradisi
fiqih oriented dan akademisi Islam dengan penguasaan metodologi yang relatif
baik. Sehingga, dalam MUI seharusnya terjadi peleburan antara kecenderungan NU
yang teguh memegang tradisi intelektual ulama klasik, dan paham Muhammadiyah
yang melulu memegang al-Qur’an dan Sunnah.
Almarhum Ibrahim Hosen, mantan Ketua Komisi Fatwa MUI 1981, menyatakan;
pemeliharaan atas dharuriyyatal-khams (agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta)
sangat diperhatikan MUI tiap mengeluarkan fatwa. Artinya, tiap fatwa MUI
diharapkan mampu mewujudkan kemaslahatan dimaksud, baik yang ukhrawi maupun
dunyawi. Akan tetapi, jika terjadi benturan antara maslahat non-syar’iyyah
dengan nash qath’iy (teks yang sudah jelas), MUI tidak akan menggunakan
maslahat, karena kemaslahatan hanya ditetapkan akal, sedang nash qath’iy oleh
wahyu.
Sisi keunggulan MUI dalam istinbath yang bersifat “lintas mazhab” dan
tidak mepunyai keterikatan dengan mazhab fiqih tertentu, maka fatwa yang
dikeluarkan MUI seharusnya mencerminkan keragaman dari orang-orang yang
terlibat di dalamnya.
Dalam prakteknya, potensi keunggulan metodologis ini tidak mempunyai
dampak apapun karena fatwa-fatwa hukum yang dikeluarkan MUI senantiasa diwarnai
oleh kepentingan politik tertentu, baik kepentingan rezim, maupun kepentingan
para elit MUI sendiri. Di samping itu, fatwa MUI juga seringkali sekedar
“berpendapat” tanpa memberi solusi atas problem masyarakat. Dominasi
kepentingan rezim dapat kita lihat terutama fatwa-fatwa MUI zaman Orde Baru;
dominasi kepentingan elit MUI dapat dilihat dalam pengharaman umat Islam
bertransaksi dengan bank konvensional pada awal 2003 lalu. Sedangkan fatwa
pengharaman pengiriman Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke luar negeri hanya karena tidak
ada mahram dapat ditunjuk sebagai contoh bahwa MUI sekedar mengeluarkan hukum
“halal-haram” dalam masalah sosial tanpa memberi solusi yang memuaskan.
E.
Kelemahan Itinbath NU,
Muhammadiyyah dan MUI
Secara umum kelemahan Muhammadiyah, NU, dan MUI, meliputi:
Pertama, ketiganya mengukur sebuah pendapat hukum dari segi
ke-manqul- annya, yaitu sejauhmana pendapat itu bisa dibenarkan secara teks
al-Qur’an dan Sunnah. Bila pembenaran secara manqul sudah ditemukan,
argumentasi itu sudah dianggap cukup dan tidak butuh argumen lain.
Kedua, pengukuran argumen secara ma’qul (reasoning) kurang
diindahkan, karena ma’qul harus ditundukkan oleh manqul.
Ketiga, landasan etik penetapan hukum nyaris tak pernah
disentuh. Sebagai misal, fatwa MUI tentang keharaman TKW, bila tak disertai
mahram. Secara manqul, barangkali keputusan itu ada benarnya. Tapi secara
ma’qul mulai agak lemah, apalagi sisi etiknya, karena fatwa itu tidak
menghasilkan solusi apapun bagi TKW yang kesulitan mencari penghidupan
dinegerinya sendiri. Dalam kasus TKW, tentu saja tidak cukup hanya dengan
memberi hukum halal atau haram.
BAB
III
PENUTUP
Dari pemaparan di atas penulis dapat mengggaris bawahi kesimpulan sebagai
berikut;
1.
Metode istinbat dalam islam ada tiga,
yaitu: bayani, qiyasi dan istishlahi.
2.
Dalam beristinbat, Nahdlatul Ulama
mengambil teks atau nash asal yang ada dalam alqur’an atau sunah dan
menggunakan qiyas dan memberlakukan secara dinamis nash-nash fuqaha dalam
konteks permasalahan yang dicari hukumnya. Dan kebanyakan fatwa NU bersumber
dari Imam Syafi’i. NU juga mengarahkan orientasinya dalam pengambilan hukum
kepada para mujtahid, bila terjadi perbedaan pendapat, maka diambil keputusan
dengan yang paling kuat.
3.
Dalam beristinbat, Muhammadiyah melaluii
alqur’an dan hadis, dengan mengabaikan pendapat para imam fiqh pasca masa
sahabat Rosulullah SAW. Jika tidak ditemikan jawabannya secara langsung
dari alqur’an dan sunah, maka Muhammadiyah menggunakan ijtihad dengan
istinbat dari nash yang ada melalui persamaan ilat (alasan hukum). Secara umum,
Muhammadiyah dalam beristinbat menggunakan metode ijtihad bayani, ijtihad
qiyasi dan ijtihad istishlahi.
4.
MUI dalam menggali hukum menggunakan
alqur’an dan sunah sebagai sumber utama. Ayat alqur’an dan hadis difahami dan
ditafsirkan sesuai dengan kaidah-kaidah penafsiran alqur’an. Ayat dan hadis
ditafsirkan dengan memperhatikan konteks masa kini, di samping memperhatikan
konteks ketika ayat itu diturunkan atau ketika hadis dinyatakan. Kemudian
dianalisis dengan mempertimbangkan hasil pengembangan iptek. Dalam berbagai
pertimbangan, yang dijadikan ukuran untuk menetapkan hukum adalah konsep
kemaslahatan. Dan pendapat mazhab ahli ushul klasik diletakkan sebagai
contoh sejarah, yang telahpun pernah ada dalam penyelesaian persoalan
perpadanan.
Di indonesia
terdapat banyak organisasi-organisasi islam, yang kesemuanya itu mempunyai
beragam pandangan , keyakinan dan perbedaan-perbedaan lainnnya. Namun dengan
perbedaan itu hendaklah jangan menjadikan umat islam khususnya menjadi terpecah
belah apa lagi sampai bermusuhan, namun setidaknya menjadi pengayaan
penngetahuan atau wawasan.
DAFTAR PUSTAKA
Muhaimin, Mujib Abdul, Mudzakir Jusuf, Kawasan dan Wawasan Studi
Islam (Jakarta:
Prenada Media,2005),
Mahfud Sahal, Hukum Islam NU (Surabaya: Khalista, 2007)
http://www.wahidinstitute.org/
H.M. Umar
Hasbi, Nalar Fiqih Kontemporer (Jakarta:
Gaung Persada Press,
2007)
http://kangasyad.blogspot.com/2009/12/metode-ijtihad-ormas-islam-indonesia-nu.html
[1]
Muhaimin, Abdul Mujib, Jusuf Mudzakir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam (Jakarta: Prenada
Media,2005), hlm 198.
[2] Sahal Mahfud, Hukum Islam NU (Surabaya: Khalista, 2007), hlm v.
[3]http://www.wahidinstitute.org/Program/Detail/?id=285/hl=id/Metode_Istinbath_Muhammadiyah_NU_Dan_MUI,
dikutip pada tanggal 26 April 2015@08.35AM
[4]
H.M. Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), hlm 250
[5] Ibid,
hlm 254
[6] http://kangasyad.blogspot.com/2009/12/metode-ijtihad-ormas-islam-indonesia-nu.html,
dikutip pada tanggal 26 April 2015@06.15AM