KAJIAN PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN (PKN);
PANCASILA SEBAGAI
SISTEM FILSAFAT DITINJAU DARI ASPEK ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS
DAN AKSIOLOGIS
I.
PENDAHULUAN
Oleh founding-fathers, Pancasila digali dari nilai-nilai
sosio-budaya bangsa Indonesia
dan diperkaya oleh nilai-nilai dan masukan pengalaman bangsa-bangsa lain.
Pancasila adalah weltanschauung (way of life) bangsa Indonesia.
Uniknya, nilai-nilai Pancasila yang bertumbuh kembang sebagai kepribadian
bangsa itu merupakan filsafat sosial yang wajar (natural social philosophy).
Nilai-nilai itu bukan hasil
pemikiran tunggal atau suatu ajaran dari siapa pun.
Lazim dipahami setelah menjadi
konsensus nasional dan ditetapkan sebagai dasar negara (filsafat negara)
Republik Indonesia, Pancasila adalah pedoman sekaligus cita-cita bersama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Secara formal, yuridis-konstitusional, kedudukan dan
fungsi Pancasila sebagai dasar negara bersifat imperatif. Namun, kita juga
menyadari bahwa pengamalannya dalam keseharian hidup bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara masih akan selalu menghadapi berbagai ancaman, tantangan,
hambatan dan gangguan. Demikian pula tentang pelestarian dan pewarisannya
kepada generasi penerus.
Dalam era kesemrawutan global sekarang, ideologi asing mudah bermetamorfosa
dalam aneka bentuknya dan menjadi pesaing Pancasila. Hedonisme (aliran
yang mengutamakan kenikmatan hidup) dan berbagai isme penyerta,
misalnya, semakin terasa menjadi pesaing yang membahayakan potensialitas
Pancasila sebagai kepribadian bangsa. Nilai intrinsik Pancasila pun masih
sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor kondisional. Padahal, gugatan terhadap
Pancasila sebagai dasar negara dengan sendirinya akan menjadi gugatan terhadap
esensi dan eksistensi kita sebagai manusia dan warga bangsa dan negara Indonesia.
Untuk menghadapi kedua ekstrim (memandang nilai-nilai Pancasila terlalu
sulit dilaksanakan oleh segenap bangsa Indonesia di satu pihak dan di pihak
lain memandang nilai-nilai Pancasila kurang efektif untuk memperjuangkan
pencapaian masyarakat adil dan makmur yang diidamkan seluruh bangsa Indonesia)
diperlukan usaha bersama yang tak kenal lelah guna menghayati Pancasila sebagai
warisan budaya bangsa yang bernilai luhur, suatu sistem filsafat yang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai agama, bersifat normatif dan ideal, sehingga
pengamalannya merupakan tuntutan batin dan nalar setiap manusia Indonesia.
Tapi, benarkah Pancasila adalah suatu sistem filsafat? Berikut akan
diuraikan secara singkat aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis Pancasila
(disariolahulang dari Pancasila sebagai Sistem Filsafat oleh M. Noor
Syam dalam “Dialog Manusia, Falsafah, Budaya dan Pembangunan” – YP2LM Malang:1980 – dengan
rujukan bahan-bahan lain yang terlalu panjang dan banyak, bahkan sekadar untuk
disebutkan judul-judulnya saja. Artikel ini sekadar mengantarkan
pemahaman umum tentang Pancasila sebagai suatu sistem filsafat ditinjau dari
aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis. Untuk pendalamannya dianjurkan
membaca aneka sumber yang banyak tersedia di perpustakaan dan atau mencoba
melakukan permenungan sendiri tentangnya). Semoga bermanfaat bagi
mereka yang sedang senang mempelajarinya! :)
II.
PEMBAHASAN
A.
Aspek Ontologis
Ontologi ialah penyelidikan hakikat ada (esensi) dan
keberadaan (eksistensi) segala sesuatu: alam semesta, fisik, psikis, spiritual,
metafisik, termasuk kehidupan sesudah mati, dan Tuhan. Ontologi Pancasila
mengandung azas dan nilai antara lain:
1)
Tuhan yang mahaesa adalah sumber
eksistensi kesemestaan. Ontologi ketuhanan bersifat religius, supranatural,
transendental dan suprarasional;
2)
Ada
– kesemestaan, alam semesta (makrokosmos) sebagai ada tak terbatas, dengan
wujud dan hukum alam, sumber daya alam yang merupakan prwahana dan sumber
kehidupan semua makhluk: bumi, matahari, zat asam, air, tanah subur,
pertambangan, dan sebagainya;
3)
Eksistensi subyek/ pribadi manusia:
individual, suku, nasional, umat manusia (universal). Manusia adalah subyek
unik dan mandiri baik personal maupun nasional, merdeka dan berdaulat. Subyek
pribadi mengemban identitas unik: menghayati hak dan kewajiban dalam
kebersamaan dan kesemestaan (sosial-horisontal dengan alam dan sesama manusia),
sekaligus secara sosial-vertikal universal dengan Tuhan. Pribadi manusia
bersifat utuh dan unik dengan potensi jasmani-rohani, karya dan kebajikan
sebagai pengemban amanat keagamaan;
4)
Eksistensi tata budaya, sebagai
perwujudan martabat dan kepribadian manusia yang unggul. Baik kebudayaan
nasional maupun universal adalah perwujudan martabat dan kepribadian manusia:
sistem nilai, sistem kelembagaan hidup seperti keluarga, masyarakat,
organisasi, negara. Eksistensi kultural dan peradaban perwujudan teleologis
manusia: hidup dengan motivasi dan cita-cita sehingga kreatif, produktif, etis,
berkebajikan;
5)
Eksistensi bangsa-negara yang berwujud
sistem nasional, sistem kenegaraan yang merdeka dan berdaulat, yang menampilkan
martabat, kepribadian dan kewibawaan nasional. Sistem kenegaraan yang merdeka
dan berdaulat merupakan puncak prestasi perjuangan bangsa, pusat kesetiaan, dan
kebanggaan nasional.
Secara garis besar, interelasi
eksistensi manusia sebagai pribadi dan warganegara, yang menghayati kedudukan
dan fungsinya, hak dan kewajibannya untuk berbakti dan mengabdi dapat
digambarkan sebagai berikut:
- T Eksistensi Tuhan yang mahaesa sebagai sumber semua eksistensi, sumber motivasi dan cita-cita kebajikan, puncak proses teleologis eksistensi kesemestaan. Subyek manusia – sadar atau tidak – menuju dan kembali kepada-Nya.
- AS Eksistensi Alam Semesta, sebagai prawahana kehidupan manusia dan makhluk semesta.
- SM Eksistensi Subyek Manusia yang unik, mandiri, merdeka, berdaulat, dengan potensi martabat dan kepribadian yang mengemban amanat ketuhanan/ keagamaan, sosial, nasional dan kemanusiaan.
- SB Eksistensi Sosio-Budaya sebagai kreasi, karya dan wahana kehidupan manusia.
- SK Eksistensi Sistem Kenegaraan sebagai perwujudan puncak prestasi bangsa-bangsa; perwujudan identitas nasional, kemerdekaan, kedaulatan dan kewibawaan nasional.
- P Pribadi manusia, sebagai eksistensi tunggal, utuh dan unik, berada dalam antarhubungan fungsional dengan semua eksistensi horisontal. Artinya, pribadi berada di dalam, dipengaruhi dan untuk semua eksistensi horisontal itu. Secara khusus dengan Tuhan yang mahaesa, pribadi manusia menghayati hubungannya dengan Tuhan secara secara vertikal sebagai sumber motivasi dan harapan, rohani, religius.
B.
Aspek Epistemologis
Epistemologi
menyelidiki sumber, proses, syarat-syarat batas, validitas dan hakikat ilmu.
Epistemologi Pancasila secara mendasar meliputi nilai-nilai dan azas-azas:
·
Mahasumber ialah Tuhan, yang menciptakan kepribadian manusia dengan
martabat dan potensi unik yang tinggi, menghayati kesemestaan, nilai agama dan
ketuhanan. Kepribadian manusia sebagai subyek diberkati dengan martabat
luhur: pancaindra, akal, rasa, karsa, cipta, karya dan budi nurani. Kemampuan martabat manusia sesungguhnya
adalah anugerah dan amanat ketuhanan/ keagamaan.
·
Sumber pengetahuan dibedakan
dibedakan secara kualitatif, antara:
a)
Sumber primer, yang tertinggi dan
terluas, orisinal: lingkungan alam, semesta, sosio-budaya, sistem kenegaraan
dan dengan dinamikanya;
b)
Sumber sekunder: bidang-bidang ilmu yang
sudah ada/ berkembang, kepustakaan, dokumentasi;
c)
Sumber tersier: cendekiawan, ilmuwan,
ahli, narasumber, guru.
·
Wujud dan tingkatan pengetahuan
dibedakan secara hierarkis:
a)
Pengetahuan indrawi;
b)
Pengetahuan ilmiah;
c)
Pengetahuan filosofis;
d)
Pengetahuan religius.
Pengetahuan manusia relatif mencakup keempat wujud
tingkatan itu. Ilmu adalah perbendaharaan dan prestasi individual maupun
sebagai karya dan warisan budaya umat manusia merupakan kualitas martabat
kepribadian manusia. Perwujudannya adalah pemanfaatan ilmu guna kesejahteraan
manusia, martabat luhur dan kebajikan para cendekiawan (kreatif, sabar, tekun,
rendah hati, bijaksana). Ilmu membentuk kepribadian mandiri dan matang serta
meningkatkan harkat martabat pribadi secara lahiriah, sosial (sikap dalam
pergaulan), psikis (sabar, rendah hati, bijaksana). Ilmu menjadi kualitas kepribadian, termasuk
kegairahan, keuletan untuk berkreasi dan berkarya.
·
Martabat kepribadian manusia
dengan potensi uniknya memampukan manusia untuk menghayati alam metafisik jauh
di balik alam dan kehidupan, memiliki wawasan kesejarahan (masa lampau, kini
dan masa depan), wawasan ruang (negara, alam semesta), bahkan secara
suprarasional menghayati Tuhan yang supranatural dengan kehidupan abadi sesudah
mati. Pengetahuan menyeluruh ini adalah perwujudan kesadaran
filosofis-religius, yang menentukan derajat kepribadian manusia yang luhur.
Berilmu/ berpengetahuan berarti mengakui ketidaktahuan dan keterbatasan manusia
dalam menjangkau dunia suprarasional dan supranatural. Tahu secara ‘melampaui
tapal batas’ ilmiah dan filosofis itu justru menghadirkan keyakinan religius
yang dianut seutuh kepribadian: mengakui keterbatasan pengetahuan ilmiah-rasional
adalah kesadaran rohaniah tertinggi yang membahagiakan.
C. Aspek Aksiologis
Aksiologi
menyelidiki pengertian, jenis, tingkatan, sumber dan hakikat nilai secara
kesemestaan. Aksiologi Pancasila pada hakikatnya sejiwa dengan ontologi dan
epistemologinya. Pokok-pokok aksiologi itu dapat disarikan sebagai berikut:
·
Tuhan yang mahaesa sebagai
mahasumber nilai, pencipta alam semesta dan segala isi beserta
antarhubungannya, termasuk hukum alam. Nilai dan hukum moral mengikat manusia
secara psikologis-spiritual: akal dan budi nurani, obyektif mutlak menurut
ruang dan waktu secara universal. Hukum alam dan hukum moral merupakan
pengendalian semesta dan kemanusiaan yang menjamin multieksistensi demi
keharmonisan dan kelestarian hidup.
·
Subyek manusia dapat membedakan
hakikat mahasumber dan sumber nilai dalam perwujudan Tuhan yang mahaesa,
pencipta alam semesta, asal dan tujuan hidup manusia (sangkan paraning dumadi,
secara individual maupun sosial).
·
Nilai-nilai dalam kesadaran
manusia dan dalam realitas alam semesta yang meliputi: Tuhan yang mahaesa
dengan perwujudan nilai agama yang diwahyukan-Nya, alam semesta dengan berbagai
unsur yang menjamin kehidupan setiap makhluk dalam antarhubungan yang harmonis,
subyek manusia yang bernilai bagi dirinya sendiri (kesehatan, kebahagiaan,
etc.) beserta aneka kewajibannya. Cinta kepada keluarga dan sesama adalah
kebahagiaan sosial dan psikologis yang tak ternilai. Demikian pula dengan ilmu,
pengetahuan, sosio-budaya umat manusia yang membentuk sistem nilai dalam
peradaban manusia menurut tempat dan zamannya.
·
Manusia dengan potensi martabatnya
menduduki fungsi ganda dalam hubungan dengan berbagai nilai: manusia sebagai
pengamal nilai atau ‘konsumen’ nilai yang bertanggung jawab atas norma-norma
penggunaannya dalam kehidupan bersama sesamanya, manusia sebagai pencipta nilai
dengan karya dan prestasi individual maupun sosial (ia adalah subyek budaya).
“Man created everything from something to be something else, God created
everything from nothing to be everything.” Dalam keterbatasannya, manusia
adalah prokreator bersama Allah.
·
Martabat kepribadian manusia
secara potensial-integritas bertumbuhkembang dari hakikat manusia sebagai
makhluk individu-sosial-moral: berhikmat kebijaksanaan, tulus dan rendah hati,
cinta keadilan dan kebenaran, karya dan darma bakti, amal kebajikan bagi
sesama.
·
Manusia dengan potensi martabatnya
yang luhur dianugerahi akal budi dan nurani sehingga memiliki kemampuan untuk
beriman kepada Tuhan yang mahaesa menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Tuhan dan nilai agama secara filosofis bersifat metafisik, supernatural dan
supranatural. Maka potensi martabat manusia yang luhur itu bersifat apriori:
diciptakan Tuhan dengan identitas martabat yang unik: secara sadar mencintai
keadilan dan kebenaran, kebaikan dan kebajikan. Cinta kasih adalah produk
manusia – identitas utama akal budi dan nuraninya – melalui sikap dan karyanya.
·
Manusia sebagai subyek nilai
memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap pendayagunaan nilai, mewariskan
dan melestarikan nilai dalam kehidupan. Hakikat kebenaran ialah cinta kasih,
dan hakikat ketidakbenaran adalah kebencian (dalam aneka wujudnya: dendam,
permusuhan, perang, etc.).
·
Eksistensi fungsional manusia ialah subyek dan kesadarannya. Kesadaran
berwujud dalam dunia indra, ilmu, filsafat (kebudayaan/ peradaban, etika dan
nilai-nilai ideologis) maupun nilai-nilai supranatural.
Skema pola
antarhubungan sosial manusia meliputi:
- Hubungan sosial-horisontal, yakni antarhubungan pribadi manusia (P) dalam antarhubungan dan antaraksinya hingga yang terluas yaitu hubungan antarbangsa (A2-P-B2);
- Hubungan sosial-vertikal antara pribadi manusia dengan Tuhan yang mahaesa (C: Causa Prima) menurut keyakinan dan agama masing-masing (garis PC).
- kualitas hubungan sosial-vertikal (garis PC) menentukan kualitas hubungan sosial horisontal (garis APB);
- kebaikan sesama manusia bersumber dan didasarkan pada motivasi keyakinan terhadap Ketuhanan yang mahaesa;
- kadar/ kualitas antarhubungan itu ialah: garis APB ditentukan panjangnya oleh garis PC. Tegasnya, garis PC1 akan menghasilkan garis A1PB1 dan PC2 menghasilkan garis A2PB2. Jadi, kualitas kesadaran akan Ketuhanan yang mahaesa menentukan kualitas kesadaran kemanusiaan.
III.
PENUTUP
Seluruh kesadaran manusia tentang nilai tercermin dalam kepribadian dan
tindakannya. Sumber nilai dan kebajikan bukan saja kesadaran akan Ketuhanan
yang mahaesa, tetapi juga adanya potensi intrinsik dalam kepribadian, yakni:
potensi cinta kasih sebagai perwujudan akal budi dan nurani manusia (berupa
kebajikan). Azas dan usaha manusia
guna semakin mendekati sifat-sifat kepribadiannya adalah cinta sesama. Nilai
cinta inilah yang menjadi sumber energi bagi darma bakti dan pengabdiannya
untuk selalu berusaha melakukan kebajikan-kebajikan. Azas normatif ini bersifat
ontologis pula, karena sifat dan potensi pribadi manusia berkembang dari
potensialitas menuju aktualitas, dari real-self menuju ideal-self,
bahkan dari kehidupan dunia menuju kehidupan kekal. Garis menuju perkembangan
teleologis ini pada hakikatnya ialah usaha dan dinamika kepribadian yang
disadari (tidak didasarkan atas motivasi cinta, terutama cinta diri).
Cinta diri cenderung mengarahkan manusia ke egosentrisme, mengakibatkan ketidakbahagiaan. Kebaikan dan
watak pribadi manusia bersumber pula pada nilai keseimbangan proporsi cinta
pribadi dengan sesama dan dengan Tuhan yang mahaesa. Dengan perkataan lain,
kesejahteraan rohani dan kebahagiaan pribadi manusia yang hakiki ialah
kesadarannya dalam menghayati cinta Tuhan dan hasrat luhurnya mencintai Tuhan
dan sesamanya.
Nilai instrinsik ajaran filsafat Pancasila sedemikian mendasar,
komprehensif, bahkan luhur dan ideal, meliputi: multi-eksistensial dalam
realitas horisontal; dalam hubungan teleologis; normatif dengan mahasumber kesemestaan (Tuhan dengan
‘ikatan’ hukum alam dan hukum moral yang psikologis-religius); kesadaran
pribadi yang natural, sosial, spiritual, supranatural dan suprarasional.
Penghayatannya pun multi-eksistensial, bahkan praeksistensi, eksistensi (real-self
dan ideal-self), bahkan demi tujuan akhir pada periode post-existence
(demi kehidupan abadi), menunjukkan wawasan eksistensial yang normatif-ideal.
Secara instrinsik dan potensial, nilai-nilai Pancasila memenuhi tuntutan
hidup manusia karena nilai filsafat sejatinya adalah untuk menjamin keutuhan
kepribadian dan tidak mengakibatkan
konflik kejiwaan maupun dilematika moral. Bersyukurlah kita punya Pancasila!