Artikel Pembuka
Baca makalah ini untuk memahami kritisisme Immanuel Kant terhadap penggunaan akal manusia dalam memahami dunia. Pelajari bagaimana Kant memperkenalkan konsep "kritisisme" sebagai metode pemikiran kritis yang menghasilkan pemahaman yang lebih mendalam tentang realitas. Temukan bagaimana pandangan Kant memengaruhi pemikiran filosofi dan masyarakat hingga saat ini.
MAKALAH FILSAFAT KRITISISME IMMANUEL KANT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam perkembangan
beberapa aliaran filsafat, kita mengenal tentang “ada” yang dikemukakan oleh
Parmenides dan Herakleitos. Parmenides menyatakan bahwa realitas bukan yang
berubah dan bergerak menjadi bermacam-macam, melainkan yang “ada” dan bersifat
tetap. Hal ini berarti bahwa di dalam realitas ini penuh dengan yang “ada”
sehingga tidak ada yang lain termasuk yang “tidak ada”, karena yang “tidak ada”
itu di luar jangkauan akal dan tidak dapat dipahami. Konsekuensi dari pernyataan
ini adalah yang ada itu (1) satu dan tidak terbagi, (2) kekal dan tidak mungkin
ada perubahan, (3) sempurna dan tidak bisa ditambah atau dikurangi, dan (4)
mengisi segala tempat. Karena pendapatnya yang mengatakan bahwa yang ada itu
ada dan yang tidak ada memang tidak ada, Parmenides dikukuhkan sebagai peletak
landasan dasar metafisika. Sedangkan Herakleitos menyatakan bahwa api sebagai
dasar segala sesuatu. Api adalah lambang perubahan, karena api menyebabkan kayu
atau bahan apa saja berubah menjadi abu sementara apinya sendiri tetap menjadi
api. Herakleitos berpandangan bahwa di dalam dunia alamiah tidak ada sesuatupun
yang tetap. Pernyataannya yang terkenal adalah "pantarhei kai uden menei" yang artinya semuanya mengalir dan
tidak ada sesuatupun yang tetap. Dengan demikian, Herakleitos tidak mengakui
adanya pengetahuan umum yang bersifat tetap. Ia hanya mengakui kemampuan indra
dan menolak kemampuan akal. Karena menurutnya setiap perubahan terjadi dalam
realitas konkret, serta dalam ruang dan waktu tertentu. Misalnya, dalam gerakan
ruang dan waktu, biji berubah menjadi tumbuhan, menjadi pohon, dan kemudian
berubah menjadi makanan, minuman, pakaian, perumahan, dan sebagainya.
Dengan demikian, “ada” yang bersifat tetap yang
dibawa oleh Permenides kemudian menuju kepada idealisme dengan Plato sebagai
tokohnya. Idealisme ini kemudian mengarah kepada rasionalisme dengan Rene
Descartes sebagai tokohnya, di mana kebenaran menurut rasionalisme itu bersifat
koherentisme, konsisten, dan identitas. Sementara “ada” yang sifatnya berubah
yang dibawa oleh Herakleitos kemudian menuju kepada realisme dengan Aristoteles
sebagai tokohnya. Realisme ini kemudian berkembang menjadi empirisme dengan
David Hume sebagai tokohnya, di mana kebenaran menurut empirisme itu bersifat
korespondensi dan kontradiksi.
Dalam
sejarah perkembangan filsafat sejak zaman pra-Yunani kuno hingga abad XX
sekarang ini, telah banyak aliran filsafat bermunculan. Setiap aliran filsafat
memiliki kekhasan masing-masing sesuai dengan metode yang dijalankan dalam rangka memperoleh
kebenaran.
Filsafat
zaman modern berfokus pada manusia, bukan kosmos (seperti pada zaman kuno),
atau Tuhan (pada abad pertengahan). Dalam zaman modern ada periode yang
disebut Renaissance (kelahiran kembali). Kebudayaan klasik warisan Yunani-Romawi
dicermati dan
dihidupkan kembali; seni dan filsafat mencari inspirasi dari sana.
Para filsuf
zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau
ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri.
Namun tentang aspek mana yang berperan ada Perbedaan pendapat. Aliran
rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti
berasal dari rasio (akal). Aliran empirisme, sebaliknya, meyakini
pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang inderawi.
Lalu muncul aliran kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat berbeda
itu.
Demikian
Immanuel Kant membuat kritik atas seluruh pemikiran filsafat, membuat suatu
sintesis, dan meletakkan dasar bagi aneka aliran filsafat masa kini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
dari uraian tersebut di atas, makalah ini akan membahas tentang;
1.
Apa yang
dimaksud dengan Kritisisme?
2.
Bagaimana
Kritisisme Immanuel Kant?
3. Bagaimana posisi Kritisisme; antara Empirisme dan Rasionalisme?
4. Bagaimana gambaran umun mengenai Kritisisme Madzhab Frankfurt?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kritisisme
Kritisisme adalah
filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dulu menyelidiki kemampuan
rasio dan batas-batasnya. Filsafat kritisisme adalah faham yang mengkritik
terhadap faham Rasionalisme dan faham Empirisme. Yang mana kedua faham tersebut
berlawanan, Adapun pengertian secara perinci adalah sebagai berikut:[1]
a) Faham Rasionalisme adalah
paham yang menyatakan kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika,
dan dan analisis yang berdasarkan fakta. Paham ini menjadi salah satu bagian
dari renaissance atau pencerahan dimana timbul perlawanan terhadap gereja yang
menyebar ajaran dengan dogma-dogma yang tidak bisa diterima oleh logika. Filsafat
Rasionalisme sangat menjunjung tinggi akal sebagai sumber dari segala
pembenaran. Segala sesuatu harus diukur dan dinilai berdasarkan logika yang
jelas. Titik tolak pandangan ini didasarkan kepada logika matematika. Pandangan
ini sangat popular pada abad 17. Tokoh-tokohnya adalah Rene Descartes
(1596-1650), Benedictus de Spinoza – biasa dikenal: Barukh Spinoza (1632-1677),
G.W. Leibniz (1646-1716), Blaise Pascal (1623-1662).
b) Faham Empirisisme adalah
pencarian kebenaran melalui pembuktian-pembukitan indrawi. Kebenaran belum
dapat dikatakan kebenaran apabila tidak bisa dibuktikan secara indrawi, yaitu
dilihat, didengar dan dirasa. Francis Bacon (1561-1624) seorang filsuf
Empirisme pada awal abad Pencerahan menulis dalam salah satu karyanya Novum
Organum: Segala kebenaran hanya diperoleh secara induktif, yaitu melalui
pengalamn dan pikiran yang didasarkan atas empiris, dan melalui kesimpulan dari
hal yang khusus kepada hal yang umum. Empirisisme muncul sebagai akibat
ketidakpuasan terhadap superioritas akal. Paham ini bertolak belakang dengan
Rasionalisme yang mengutamakan akal. Tokoh-tokohnya adalah John Locke
(1632-1704); George Berkeley (1685-1753); David Hume (1711-1776). Kebenaran
dalam Empirisme harus dibuktikan dengan pengalaman. Peranan pengalaman menjadi
tumpuan untuk memverifikasi sesuatu yang dianggap benar. Kebenaran jenis ini
juga telah mempengaruhi manusia sampai sekarang ini, khususnya dalam bidang
Hukum dan HAM.
Pelopor
kritisisme adalah Immanuel Kant. Immanuel Kant (1724 – 1804) mengkritisi Rasionalisme
dan Empirisme yang hanya mementingkan satu sisi dari dua unsur (akal dan
pengalaman) dalam mencapai kebenaran. Menonjolkan satu unsur dengan mengabaikan
yang lain hanya akan menghasilkan sesuatu yang berat sebelah. Kant jelas-jelas
menolak cara berfikir seperti ini. Karena itu, Kant menawarkan sebuah konsep
“Filsafat Kritisisme” yang merupakan sintesis dari rasionalisme dan empirisme.
Kata kritik secara harfiah berarti “pemisahan”.
Isi utama
dalam kritisisme yaitu gagasan Immanuel Kant tentang teori pengetahuan, etika,
dan estetika. Gagasan tersebut muncul karena ada pertanyaan-pertanyaan yang
mendasar yang timbul pada pemikiran Immanuel Kant.
Adapun ciri-ciri
Kritisisme Immanuel Kant dapat disimpulkan menjadi tiga hal yaitu:
1. Menganggap objek pengenalan
berpusat pada subjek dan bukan pada objek.
2. Menegaskan keterbatasan
kemampuan rasio manusia untuk menetahui realitas atau hakikat sesuatu, rasio
hanya mampu menjangkau gejalanya atau fenomenanya saja.
3. Menjelaskan bahwa pengenalan
manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara peranan unsure “a
priori” (sebelum di buktikan tapi kita sudah percaya) yang berasal dari rasio
serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsur “aposteoriori” (setelah di
buktikan baru percaya) yang berasal dari pengalaman yang berupa materi.[2]
B. Kritisisme Imanuel Kant (1724-1804)
Immanuel
Kant adalah seorang filsuf Jerman kelahiran Konigsberg, 22 April 1724 – 12
februari 1804. Ia dikenal sebagai tokoh kritisisme. Filsafat kritis yang
ditampilkannya bertujuan untuk menjembatani pertentangan antara kaum
Rasionalisme dengan kaum Empirisme. Bagi Kant, baik Rasionalisme maupun
Empirisme belum berhasil memberikan sebuah pengetahuan yang pasti berlaku umum
dan terbukti dengan jelas. Kedua aliran itu memiliki kelemahan yang justru
merupakan kebaikan bagi seterusnya masing-masing.
Menurut
kant, pengetaahuan yang dihasilkan oleh kaum Rasionalisme tercermin dalam
putusan yang bersifat analitik-apriori, yaitu suatu bentuk putusan dimana
predikat sudah termasuk dengan sendirinya kedalam subyek. Memang mengandung
kepastian dan berlaku umum, tetapi tidak memberikan sesuatu yang baru.
Sedangkan yang dihasilkan oleh kaum Empirisme itu tercermin dalam putusan yang
bersifat sintetik-aposteriori, yaitu suatu bentuk putusan dimana predikat belum
termasuk kedalam subyek. Meski demikian, sifat sintetik-apesteriori ini
memberikan pengetahuan yang baru, namun sifatnya tidak tetap, sangat bergantung
pada ruang dan waktu. Kebenaran disini sangat bersifat subyektif.
Dengan
melihat kebaikan yang terdapat diantara dua putusan tersebut, serta
kelemahannya sekaligus, kant memadukaa keduanya dalam suatu bentuk putusan yang
bersifat umum-universal, dan pasti di dalamnya, “akal budi dan pengalaman
indrawi dibutuhkan serentak”.
Bagaimana
cara untuk mendapatkan putusan sintetik-apriori?
Dalam hal
ini kant menunjukan pada 3 bidang sebagai tahapan yang harus dilalui, yaitu:
a)
Bidang indrawi
Peranan
subyek lebih menonjol, namun harus ada dua bentuk murni yaitu ruang dan waktu
yag dapat diterapkan pada pegalaman. Hasil yang diterapkan pada ruang dan waktu
merupakan fenomena konkrit. Namun pengetahuan yang diperoleh indrawi ini selalu
berubah-ubah, tergantung pada subyek yang mengalami dan situasi yang
melingkupinya.
b)
Bidang Akal
Apa yang
telah diperoleh melalui bidang indrawi tersebut, untuk memperoleh pengetahuan
yang bersifat objektif-universal. Haruslah dituangkan ke bidang akal. Disini
terkandung 4 bentuk kategori:
1. Kategori kuantitas, terdiri
atas; singulir(kesatuan), partikulir(sebagian), dan universal(umum).
2. Kategori kualitas, terdiri
atas; realitas(kenyataan), negasi(pengingkaran), dan limitasi(batas-batas)
3. Kategori relasi, terdiri
atas; categories(tidak bersyarat), hypothetis(sebab dan akibat),
disjunctif(saling meniadakan)
4. Kategori modalitas, terdiri
atas; mungkin/tidak, ada/tiada, keperluan/kebetulan.[3]
c)
Bidang Rasio
Pengetahuan
yang telah diperoleh akal itu baru dapat dikatakan sebagai putusan
sintetik-apriori, setelah dikaitkan 3 macam ide, yaitu; Allah(ide teologis),
jiwa(ide psikologis), dan dunia (ide kosmologis).
Namun
ketiga macam ide itu sendiri tidak dapat dicapai oleh akal pikiran manusia.
Ketiga ide ini hanya merupakan petunjuk untuk menetapkan kesatuan pengetahuan.
Selain itu Immanual kant juga mengangkat aliran Aufk Larung ke puncak
perkembangannya sekaligus mengantar keruntuhannya. Pendapatnya adalah;
1.
Ajarannya tentang pengetahuan
Pendapat-pendapat
yang sintesis dengan suatu pertanyaan; bagaimana mungkin orang dapat menetapkan
pendapat yang apriori (terlepas dari pengalaman) tentang suatu objek
dengan mempergunakan logika?
2.
Ajarannya tentang kesusilaan
Ajaran etikanya
berprinsip bahwa segala sesuatu hanya tergantung pada kehendak/ suasana yang
menjadi dasar perbuatan-perbuatan kita. Perbuatan baik dari sudut susila adalah
berdasarkan keinsafan kewajiban dengan pengertian bahwa setiap perbuatan kita
bisa menjadi hukum umum yang berlaku. Asas pokok kesusilaan adalah imperatif
kategoris, artinya suatu imperatif/ perintah dari dalam diri kita yang
memerintahkan kepada kita tanpa memandang sebab dan akibatnya, cara berbuatnya,
dsb. Berbuat baik adalah berbuat dengan berpangkal pada hukum kesusilaan yang
dibuat oleh diri kita sendiri seara otonom karena menghormati hukum kesusilaan.
3.
Ajarannya tentang kesenian
Rasa
estetis itu khususnya berupa suatu rasa senang/ nikmat yang bercampur dengan
perasaan tak senang. Dapat mengikat menjadi perasaan luhur yang
berlebih-lebihan yang dapat membuat kita merasa luhur/ mulia.
Adapun
karya Kant yang terpenting adalah “Kritik der Reinen Vernunft” 1781.
Dalam bukunya ini ia membatasi pengetahuan manusia, atau dengan kata lain apa
yang bisa diketahui manusia
Kant
sebenarnya hanya meneruskan perjuangan Thomas Aquinas yang pernah melakukannya.
Immanuel Kant sendiri mulanya sangat beregang teguh dengan rasionalisme, secara
dia adalah seorang Jerman, namun dia tersadarkan akan empirisme dari bukunya
David Hume (filsuf Inggris). Dan sejak itulah Immanuel Kant merasa
rasionalisme dan empirisme bisa digabungkan dan merupakan sebuah bagian yang
dapat melengkapi satu sama lain.
Kritisisme
Rasionalis Jerman yang diajarkan Immanuel Kant adalah metodeloginya yang
dikenal dengan metode induksi, dari partkular data-data terkecil baru mencapai
kesimpulan universal.
Dengan
kritisisme Immanuel Kant (1724-1804) mencoba mengembangkan suatu sintesis atas
dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing
pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita
tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada
faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita.
Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi
manusia tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui
secara pasti seperti apa dunia "itu sendiri", namun hanya dunia
itu seperti tampak "bagiku", atau "bagi semua
orang". Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan
kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi
lahirilah, ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita
menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan
atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah
kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk
kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan.
Immanuel
Kant juga beranggapan bahwa data inderawi manusia hanya bisa menentukan
Fenomena saja. Fenomena itu sendiri adalah sesuatu yang tampak yang hanya
menunjukkan fisiknya saja. Seperti Benda pada dirinya, bukan isinya atau
idenya. seperti ada ungkapan "The Think in itself". Sama
halnya dengan Manusia hanya bisa melihat Manusia lain secara penampakannya saja
atau fisiknya saja, tetapi tidak bisa melihat ide manusia tersebut. Inderawi
hanya bisa melihat Fenomena (fisik) tapi tidak bisa melihat Nomena (Dunia
ide abstrak- Plato)
Immanuel
Kant memang cenderung mendapatkan "ilham" atau terinmspirasi
dari Plato, tapi tidak semuanya, dia "menyempurnakannya"
dengan menggabungkan dengan Pengalaman Empirisme ajaran Aristoteles. Plato
beranggapan Fenomena yang membentuk Nomena, Ide di atas segalanya, Ide yang
membentuk sebuah yang nyata, seperti halnya Tuhan menciptakan Manusia.[4]
Immanuel
Kant terinspirasi dari Plato terlihat dari teori 3 postulat "buatan".
Sesuatu yang kita percaya, namun sulit dibuktikan.
- Free Will, Kehendak yang bebas
- Keabadian Jiwa, Immortaolitas Jiwa (warisan Plato. Manusia mati, tetapi Jiwa tak pernah Mati, makanya ide bersifat abstrak dan di atas segalanya)
- Tuhan, merupakan sesuatu yang kita percaya dan yakini akan keadaanya, akan tetapi sulit untuk mebuktikan kenampakan fisiknya.
C. Filsafat Kritisisme Sebagai Penengah Antara Rasionalisme Dan Empirisme
Rasionalisme adalah aliran yang beranggapan bahwa dasar semua pengetahuan
itu ada dalam pikiran (berasal dari rasio/akal) sehingga akal merupakan alat
terpenting untuk memperoleh pengetahuan. Aliran rasionalisme ini dipelopori
oleh Rene Descartes yang terkenal dengan ungkapannya Cogito ergo sum
atau I think therefore I’m (saya berpikir maka saya ada). Sedangkan
Empirisme adalah aliran yang beranggapan bahwa seluruh pengetahuan tentang
dunia itu berasal dari indra (pengalaman) manusia yang meliputi mata, hidung,
telinga, kulit dan mulut. Aliran empirisme ini dipelopori oleh David Hume yang
terkenal dengan ungkapannya I never catch my self at any time with out a
perception (saya selalu memiliki persepsi pada setiap pengalaman saya).
Kedua aliran ini sangat bertolak belakang sehingga pada abad ke-18 terjadi
konflik yang hebat antara rasionalisme dan empirisme. Kemudian, lahirlah aliran
kritisisme yang dipelopori oleh Immanuel Kant, di mana kritisisme itu berusaha
mengadakan penyelesaian atas pertikaian antara rasionalisme dan empirisme.
Untuk menghilangkan konflik di antara rasionalisme
dan empirisme, Kant mengadakan
pemaduan di antara dua aliran ini dalam hal perumusan kebenaran. Dalam kaitan
ini Kant mengatakan bahwa “Pengetahuan merupakan hasil kerjasama dua unsur,
yaitu pengalaman dan kearifan akal budi. Pengalaman indrawi merupakan unsur a
posteriori (yang datang kemudian), sedangkan akal budi merupakan unsur a
priori (yang datang lebih dahulu).
Kritisisme adalah aliran yang lahir dari pemikiran Immanuel Kant yang
terbentuk sebagai ketidakpuasan atas aliran rasionalisme dan empirisme. Dengan
kritisisme, Immanuel Kant mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua aliran
yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing aliran benar
separuh dan salah separuh. Benar bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal
dari indra kita, namun dalam akal kita terdapat faktor-faktor yang menentukan
bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam
manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia.
Menurut Immanuel Kant, pengetahuan yang dihasilkan oleh kaum Rasionalisme
tercermin dalam putusan yang bersifat analitik a priori, yaitu suatu bentuk
putusan di mana predikat sudah termasuk dengan sendirinya ke dalam subyek,
sehingga mengandung kepastian dan berlaku umum, tetapi tidak memberikan sesuatu
yang baru. Sedangkan pengetahuan yang dihasilkan oleh kaum Empirisme itu
tercermin dalam putusan yang bersifat sintetik a posteriori, yaitu suatu bentuk
putusan di mana predikat belum termasuk ke dalam subyek. Meski demikian, sifat
sintetik a pesteriori ini memberikan pengetahuan yang baru, namun sifatnya
tidak tetap, dan sangat bergantung pada ruang dan waktu sehingga kebenaran di sini sangat bersifat subyektif.
Secara fenomenologis, pengetahuan terbagi menjadi dua yaitu pengetahuan a
priori dan pengetahuan a posteriori. Pengetahuan a priori merupakan pengetahuan
yang bersumber dari rasio atau akal, sedangkan pengetahuan a posteriori
merupakan pengetahuan yang bersumber dari pengalaman. Sementara metode untuk
memperoleh pengetahuan juga dibedakan menjadi dua, yaitu pengetahuan sintetik
dan pengetahuan analitik. Pengetahuan sintetik merupakan hasil keadaan yang
mempersatukan dua hal yang terpisah, sedangkan pengetahuan analitik merupakan
hasil analisa. Kombinasi antara sumber dan metode pengetahuan ini melahirkan 4
(empat) jenis pengetahuan, yaitu:
1.
Pengetahuan sintetik a priori, merupaka pengetahuan
yang dihasilkan oleh penyelidikan akal terhadap bentuk-bentuk pengalamannya
sendiri dan mengabungkan unsur-unsur yang tidak saling bertumpu.
2.
Pengetahuan sintetik a posteriori, merupakan pengetahuan
yang diperoleh setelah ada pengalaman sehingga pengetahuan ini adalah bentuk
pengetahuan empiris yang lazim.
3.
Pengetahuan analitik a priori, yaitu pengetahuan
yang dihasilkan oleh analisa terhadap unsur-unsur yang a priori.
4. Pengetahuan
analitik a posteriori, yaitu pengetahuan yang dihasilkan oleh penyelidikan akal
terhadap bentuk-bentuk pengalamannya sendiri dan penggabungan unsur-unsur yang
tidak saling bertumpu, serta diperoleh setelah adanya pengalaman.
Dengan keempat sumber dan metode mengetahui tersebut, Kant mencoba
membuktikan bahwa kemampuan rasio dan pengalaman tidak bisa dipisahkan.
Keduanya saling berada di dalam kelemahan dan kekuatannya masing-masing. Rasio
memiliki kemampuan menangkap kebenaran pengetahuan secara umum, tetapi lemah dan
kabur terhadap pengetahuan konkret khusus. Sebaliknya, pengalaman memiliki
kekuatan mengenali setiap hal yang khusus, tetapi kabur terhadap
prinsip-prinsip umum. Dengan demikian, Immanuel Kant
menyatakan bahwa segala macam pengetahuan itu diperoleh dari pemikiran dan
pengalaman atau dalam bahasa filsafat disebut sebagai analitik a priori (teori)
dan sintetik a posteriori (kerja nyata), sehingga dapat disebut sebagai
sintetik a priori.
Immanuel Kant merupakan filsuf modern yang paling berpengaruh. Pemikirannya
yang analisis dan tajam memasang patok-patok yang mau tak mau menjadi acuan
bagi segenap pemikiran filosofis kemudian, terutama dalam bidang epistimologi,
metafisika, dan etika. Dari pertentangan
antara Empirisme dan Rasionalisme,
Kant mengemukakan tiga pembedaan perumusan kebenaran, yaitu akal budi (verstand),
rasio (vernunft) dan pengalaman indrawi. Selain itu, karya Kant yang
terkenal tentang kritisisme adalah:
1. Critique
of Pure Reason (1781) (kritik atas rasio
murni)
Adapun inti dari isi buku
yang berjudul Kritik atas Rasio Murni adalah sebagai berikut:
a)
Kritik atas akal murni menghasilkan skeptisisme
yang beralasan.
b)
Tuhan yang sesungguhnya adalah kemerdekaan dalam
pengabdian pada yang di cita-citakan. Akal praktis adalah berkuasa dan
lebih tinggi dari pada akal teoritis.
c)
Agama dalam ikatan akal terdiri dari moralitas.
Kristianitas adalah moralitas yang abadi.
2.
Critique of Practical
Reason (1788) (kritik atas rasio praktis)
Rasio praktis yaitu rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan, atau
dengan lain kata, rasio yang
memberikan perintah kepada kehendak kita. Kant memperlihatkan
bahwa rasio praktis memberikan perintah yang mutlak yang disebutnya sebagai imperative
kategori. Kant beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus disadari
sebaik-baiknya agar ketiga hal itu dibuktikan sehingga Kant menyebutnya sebagai
ketiga postulat dari rasio praktis. Ketiga postulat itu adalah:
a)
Kebebasan kehendak
b)
Inmoralitas jiwa
c)
Adanya Allah
Dalam kritiknya, Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan bersifat umum,
mutlak dan pengertian baru sehingga Kant membedakan tiga aspek putusan.
Pertama, putusan analitis a priori, di mana predikat tidak menambah sesuatu
yang baru pada subyek, karena termasuk di dalamnya (misalnya, setiap benda
menempati ruang). Kedua, putusan sintesis a posteriori, misalnya pernyataan
bahwa meja itu bagus di sini predikat dihubungkan dengan subyek berdasakan
pengalaman indrawi. Ketiga, putusan sintesis a priori, yang dipakai sebagai
suatu sumber pengetahuan yang bersifat sintesis, tetapi bersifat a priori juga,
misalnya, putusan yang berbunyi segala kejadian mempunyai sebab.
3.
Critique of Judgment
(1790) (kritik atas pertimbangan)
Adapun inti dari isi buku
yang berjudul Kritik atas Pertimbangan adalah sebagai berikut:
a)
Kritik atas pertimbangan menghubungkan di antara
kehendak dan pemahaman.
b)
Kehendak cenderung menuju yang baik, kebenaran
adalah objek dari pemahaman.
c)
Pertimbangan yang terlibat terletak di antara yang
benar dan yang baik
d)
Estetika adalah cirinya tidak teoritis maupun
praktis, ini adalah gejala yang ada pada dasar subjektif.
e)
Teologi adalah teori tentang fenomena, yang
bertujuan:
§
subjektif (menciptakan kesenangan dan keselarasan)
§
objektif (menciptakan yang cocok melalui
akibat-akibat dari pengalaman).[5]
Bersambung ke KRITISISME IMMANUEL KANT PART 2