Pembukaan
Dalam eksplorasi keilmuan, makalah ini membahas peran penting para imam perawi hadits, terutama yang terdapat dalam kutub as-sittah, al-Muwattho', al-Musnad Ahmad bin Hanbal. Kita juga akan menyelami ragam kitab hadis dan peranannya dalam memahami warisan kehidupan Rasulullah. Mari bersama-sama menggali hikmah dan kedalaman pengetahuan dari khazanah hadits ini.
PARA IMAM PERAWI
HADITS (Kutub As-Sittah, Al-Muwaththa, Al-Musnad Ahmad bin
Hanbal) DAN MACAM-MACAM KITAB HADIS
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sumber dari segala sumber hukum yang utama
atau yang pokok di dalam agama Islam adalah Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Selain sebagai sumber hukum, Al-Qur’an dan As-Sunnah juga merupakan
sumber ilmu pengetahuan yang universal. Isyarat sampai kepada ilmu yg mutakhir
telah tercantum di dalamnya. Oleh kerananya siapa yang ingin mendalaminya, maka
tidak akan ada habis-habisnya keajaibannya.
Untuk mengetahui As-Sunnah atau hadith-hadith
Nabi, maka salah satu dari beberapa bahagian penting yang tidak kalah menariknya
untuk diketahui adalah mengetahui profil atau sejarah orang-orang yang
mengumpulkan hadith, yang dengan jasa-jasa mereka kita yang hidup pada zaman
sekarang ini dapat dengan mudah memperoleh sumber hukum secara lengkap dan
sistematis serta dapat melaksanakan atau meneladani kehidupan Rasulullah untuk
beribadah seperti yang dicontohkannya.
Dalam literatur islam, hadis
nabi Muhammad SAW menempati urutan kedua setelah Al Quranul karim sebagai
sumber utama Syariat Islam, Fungsi hadist nabi tidak saja sebagai penjelas
terhadap hal-hal yang masih sangat umum dalam Al qur’an,tapi juga menjadi
sumber agama baru di dalam hal-hal yang tidak di jelaskan di dalam alqur’an,
dalam hal ini menjadi sangat penting untuk mengetahui dan mendalami
permasalahan2 yg ada di dalam hadist nabi Muhammad SAW.
Berbicara tentang Hadist nabi maka kita juga harus berbicara tentang
kitab2 yang memuat hadist2 nabi tersebut, maka dalam hal ini Kutubussittah
(kitab yang enam) adalah pedoman utama mereka yang hendak atau sedang mendalami
hadist2 nabi Muhammad SAW tsb.
Ada
beberapa istilah bagi kitab-kitab hadist, baik Kutub As-sittah atau
kitab-kitab hadist secara umum, yaitu; Shohih, Jami’, Musnad, Sunan, dan
Mustadrak.
Makalah ini bermaksud membahas
seedikit mengenai hadis sebagai sumber otoritas Islam dan menjelaskan beberapa
hal yang dianggap berkaitan dengnya. Hadis yang dianggap sebagai verbalisasi
sunnah oleh sebagian besar umat Islam terlalu penting untuk diabaikan dalam
kehidupan beragama, sosial dan politik. Hadis bukan hanya sebagai sumber hukum
Islam yang berdiri sendiri, tapi juga sebagai sumber informasi yang sangat
berharga untuk memehami wahyu Allah.
B. RUMUSAN MASALAH
Untuk lebih sepesifiknya penulis berusaha merumuskan pokok-pokok bembasan
sebagai berikut;
1. Siapa Saja Perawi Hadis yang termasuk ke dalam bagian dari istilah As-Sab’ah, As-Sittah,
Al-Khamsah, Al-Arba’ah, Ats-Tsalatsah,
Muttafaq ‘alaihi?
2. Apa yang
dimaksud dengan Kutub As-Sittah?
3. Siapa saja
pengarang dari Kutub As-Sittah dan bagaimana biografinya?
4. Apa yang
dimaksud dengan kitab Al-Muwaththa, siapa pengarangnya?
5. Apa yang
dimaksud dengan kitab Al-Musnad Ahmad bin Hanbal dan bagaimana biografi
pengarangnya?
6. Apa saja
macam-macam kitab hadis dan bagaimana penjelasannya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PARA
IMAM PERAWI HADIS (Kutub As-Sittah, Al-Muwaththa, Al-Musnad Ahmad bin
Hanbal)
Para
imam perawi hadis sering kita temui pada setiap ahir sebuah hadis yang mereka
riwayatkan dengan istilah sebagai berikut;
1.
As-Sab’ah (imam yang tujuh)
adalah: Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah.
4.
Al-Arba’ah (imam yang empat)
adalah: nama-nama di atas kecuali tiga nama pertama.
5.
Ats-Tsalatsah (imam yang tiga)
adalah: Abu Dawud, at-Tirmidzi, An-Nasa'i.
6.
Muttafaq ‘alaihi adalah: Al-Bukhari
dan Muslim.
Adapun ketujuh imam perawi tersebut di atas memiliki
karya-karya besar besar, di antaranya;
§
Kutub As-Sittah,
§
Al-Muwaththa,
§
Al-Musnad Ahmad bin Hanbal.[1]
1. Kutub
As-Sittah
Istilah Kutubus Sittah (kutub as-sittah) digunakan untuk menyebut
enam kitab induk hadits, yaitu :
1)
Shahih Al Bukhari
2)
Shahih Muslim
3)
Sunan An Nasa`I
4)
Sunan Abi Dawud
6)
Sunan Ibni Majah
Masing-masing kitab tersebut memiliki ciri khas yang
hanya diketahui oleh orang yang ahli di bidang ini, sehingga kitab-kitab
tersebut dikenal oleh manusia dan tersebar di seluruh pelosok negeri Islam dan
pemanfaatannya menjadi besar, sehingga para penuntut ilmu berusaha keras untuk
mendapatkan dan memahaminya.
Banyak sekali karya tulis berupa syarah dan ta’liq
terhadap kitab-kitab tersebut. Sebagian di antaranya ada yang mengkaji tentang
isi kandungan dari matan-matan hadits yang termuat di dalamnya, sebagian yang
lain mengkaji tentang kandungan sanad-sanadnya dan sebagian yang lain mengkaji
tentang gabungan keduanya (matan dan sanad).
Adapun Biografi dan karya pengarang Al-kutub al-sittah sebagai
berikut;
1.
Imam Bukhari (194-256 H/ 773-835 M)
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Al Bukhari bin
Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah. Beliau dilahirkan di Bukhara, Uzbekistan
setelah Shalat Jumat, pada tanggal 13 Syawal 194 H/810 M. Muhadditsin ini
sangat wara’, banyak membaca Al Qur’an siang malam serta, gemar berbuat kebajikan.
Sejak umur 10 tahun, dia sudah mempunyai hafalan hadits yang tidak sedikit
jumlahnya. Beliau telah menulis Kitab Hadits yang memuat 600.000 hadits
kemudian beliau pilih lagi menjadi 100.000 hadits shahih dan 1000 hadits TIDAK
shahih.
Shahih al-Bukhari adalah karya utama Imam Bukhari. Judul lengkap buku beliau
ini adalah Al-Jami’ ash-Shahih al- Musnad al-Mukhtashar min Umūri Rasūlillah
Shallallahu ’alayhi wa Sallam wa Ayyamihi (Jami’us Shahih), yakni kumpulan
hadits-hadits shahih. Beliau menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk menyusun
bukunya ini. Beliau memperoleh hadits dari beberapa
hafizh, antara lain Maky bin Ibrahim, Abdullah bin Usman Al Marwazy, Abdullah
bin Musa Al Abbasy, Abu Ashim As Syaibany dan Muhammad bin Abdullah Al Anshari.
Karya-karya lainnya antara lain:
§
Qadlayas Shahabah Wat Tabi’in
§
At Tarikhul Kabir
§
At Tarikhul Ausath
§
Al ‘Adabul Munfarid
§
Birrul Walidain.
Dalam kitab jami’nya, beliau menuliskan
6.397 buah hadits, dengan yang terulang. Yang muallaq sejumlah 1.341 buah, dan
yang mutabi’ 384 buah, jadi seluruhnya berjumlah 8.122 buah. Beliau wafat pada
malam Sabtu selesai shalat Isya’, tepat pada malam Idul Fitri tahun 252 H/870 M
dan dikebumikan di Khirtank, kampung yang tidak jauh dari Samarkand.
2. Imam Muslim (204-261 H/
783-840 M)
Beliau mempunyai nama lengkap Abul Husain
Muslim bin Al Hajaj Al Qusyairy. Beliau dilahirkan di Nisabur, Iran
tahun 204 H/820 M. Dia adalah muhadditsin dan hafidz yang terpercaya. Dia pergi
ke berbagai kota untuk berguru hadits kepada Yahya bin Yahya, Ishaq bin
Rahawaih, Muhammad bin Mahran, Abu Hasan, Ibnu Hanbal, Abdullah bin Maslamah,
Yazid bin Mansur dan Abu Mas’ad, Amir bin Sawad, Harmalah bin Yahya, Qatadah
bin Sa’id, Al Qa’naby, Ismail bin Abi Uwais, Muhammad bin Al Mutsanna, Muhammad
bin Rumhi dan lain-lain. Dalam bidang hadits, beliau memiliki karya Jami’ush
Shahih. Jumhur ulama mengakui kitab Shahih Muslim adalah secermat-cermat
isnadnya dan sekurang-kurang perulangannya. Kitab ini berisikan 7.273 buah
hadits, termasuk dengan yang terulang. Karya lainnya ialah:
§
Musnadul Kabir (Kitab yang menerangkan
tentang nama-nama rijalul hadits)
§
Al Jami’ul Kabir
§
Kitabul ‘ilal wa kitabu auhamil
muhadditsin
§
Kitabut Tamyiz
§
Kitab man laisa lahu illa rawin wahidun
§
Kitabut thabaqatut tabi’in
§
Kitabul Muhadiramin
Beliau wafat pada hari Minggu, Rajab tahun
261 H/875 M dan dikebumikan pada hari Senin di Nisabur. Beliau menulis Kitab Shahih Muslim yang terdiri
dari 7180 Hadits. Guru-guru beliau: Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Bukhari.
Adapun murid murid beliau: Imam at-Tirmidzi, Abū Hatim ar-Razi dan Abū Bakr bin
Khuzaimah termasuk. Buku beliau memiliki derajat tertinggi di dalam
pengkategorisasian (tabwib).
Kedua Ulama Ahli hadits ini biasa disebut dengan As Syaikhani (الشيخان ) dan kedua kitab Shahih beliau berdua
disebut Shahihain (الصحيحين) sedangkan hadits
yang diriwayatkan oleh mereka berdua dari sumber sahabat yang sama disebut
muttafaq ‘alaih (متفق عليه )[2]
3. Imam Abu Dawud (202-275 H/
817-889 M)
Nama lengkapnya adalah Abu Dawud Sulaiman
bin Al Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin Amr bin Amran Al
Azdi As Sijistani. Ia dilahirkan di Sijistan (antara Iran dan Afganistan) pada 202 H/817
M. Ia seorang ulama, hafizh (penghafal Al Qur’an) dan ahli dalam berbagai ilmu
pengetahuan tentang ke-Islaman khususnya dalam bidang ilmu fiqih dan hadits.
Dia berguru kepada para pakar hadits, seperti: Ibnu Amr Ad Darir, Qa’nabi, Abi
Al Walid At Tayalisi, Sulaiman bin Harb, Imam Hambali, Yahya bin Ma’in,
Qutaibah bin Sa’id, Utsman bin Abi Syaibah, Abdullah bin Maslamah, Musaddad bin
Marjuq, Abdullah bin Muhammad An Nafili, Muhammad bin Basyar, Zuhair bin Harb,
Ubaidillah bin Umar bin Maisarah, Abu bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin
Mutsanna, dan Muhammad bin Al Ala.
Abu Dawud menghasilkan sebuah karya
terbaiknya yaitu Kitab Sunan Abi Dawud. Kitab ini dinilai sebagai kitab standar
peringkat 2 (kedua) dalam bidang hadits setelah kitab standar peringkat pertama
yaitu Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Dalam kitabnya tersebut Abu Dawud
mengumpulkan 4.800 buah hadits dari 500.000 hadits yang ia catat dan hafal.
Karangan Abu Dawud yang berjumlah 20 judul dan tidak kurang dari 13 judul kitab
telah mengulas karya tersebut dalam bentuk syarh (komentar), mukhtasar
(ringkasan), tahzib (revisi) dll.
Beliau tinggal dan menetap di Basra dan akhirnya wafat di
Basrah pada tahun 275 H/889 M dalam usia 73 tahun. Buku beliau ini, utamanya menggabungkan
antara riwayat-riwayat yang berkaitan dengan ahkam dengan ringkasan (mukhtasar)
permasalahan fiqih yang berkaitan dengan hukum. Bukunya tersusun dari 4.800
ahadits. Al Khathaby mengomentari bahwa Kitab Sunan Abu Dawud itu adalah kitab
yang lebih banyak fiqih-nya daripada Kitab As Shahihain.
4. Imam At-Tirmidzi (209-279 H/
824-892 M)
Beliau mempunyai nama lengkap Abu Isa
Muhammad bin Isa bin Saurah at Tirmidzi bin Musa bin Dahhak As Sulami Al Buqi.
Ia lahir di Termez, Tadzikistan pada bulan Dzulhijah 209 H/824 M. Ia merupakan
ilmuwan Islam, pengumpul hadits kanonik (standar buku). Abu Ya’la Al Khalili,
seorang ahli hadits menyatakan bahwa At Tirmidzi adalah seorang Siqah
(terpercaya) dan hal ini disepakati oleh para ulama. Ibnu Hibban Al Busti (ahli
hadits) mengakui kemampuan At Tirmdzi dalam hal menghafal, menghimpun dan
menyusun hadits.
At Tirmidzi adalah seorang murid dari Imam
Bukhari dan beberapa guru lainnya seperti: Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin
Musa. Kitab beliau
yang terkenal, Jami’ at-Tirmidzi menyebutkan seputar permasalahan fiqh dengan
penjelasan yang terperinci.
Beliau juga memiliki kitab Ilalul Hadits.
Pada usia 70 tahun, ia meninggal di tempat kelahirannya Termez pada akhir Rajab
tahun 279 H/892 M.
5. Imam An-Nasa’i (215-303 H/ 830-915 M)
An-Nasa’i memiliki nama lengkap Abu Abdir
Rahman Ahmad bin Syu’aib an-Nasa’i bin Ali bin Bahr bin Sinan. Sedangkan nama
panggilannya adalah Abu Abdul Rahman An-Nasa’i. Beliau lahir di Nasa’, Khurasan
215 H/830 M. Seorang ahli hadits ini memilih Mesir sebagai tempat menyiarkan
hadits-hadits. Beliau mempunyai keahlian dalam bidang hadits dan ahli fiqih
dalam mazhab Syafi’i. Di kota
Damaskus ia menulis kitab Khasais Ali ibn Abi Thalib (Keistimewaan Ali bin Abi
Thalib). Sedangkan karya-karyanya yang lain yaitu:
§
As Sunan Al Kubra (Sunan-sunan yang
Agung).
§
As Sunan Al Mujtaba (Sunan-sunan Pilihan).
§
Kitab At Tamyiz (Pembeda)
§
Kitab Ad Du’afa (Tentang Orang-orang
Kecil).
§
Khasais Amir Al Mu’minin Ali ibn Abi
Thalib.
§
Manasik Al Hajj (Cara Ibadah Haji).
§
Tafsir
Dari kitab-kitab tersebut, As-Sunan Al
Kubra merupakan karya terbesarnya. Beliau memiliki guru-guru dalam bidang hadits antara
lain: Qutaibah bin Sya’id, Ishaq bin Ibrahim, Ahmad bin Abdul Amru bin Ali,
Hamid bin Mas’adah, Imran bin Musa, Muhammad bin Maslamah, Ali bin Hajar,
Muhammad bin Mansyur, Ya’kub bin Ibrahim, dan Haris bin Miskin.
An-Nasa’i meninggal dunia di kota Ramlah, Palestina dan
dikuburkan di antara Shafa dan Marwah di Mekah pada hari Senin, 13 Safar tahun
303 H/915 M dalam usia 88 tahun.
6. Imam Ibnu Majah (209-273 H/ 824-887 M)
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah
Muhammad bin Yazid bin Majah al-Qadziani Ar Raba’i Al Qazwani. Beliau lahir di Qazwin, Iran
209 H/824 M. Majah adalah nama gelar (Laqab) bagi Yazid, ayahnya yang dikenal
juga dengan nama Majah Maula Rab’at. Ada
juga pendapat yang menyebutkan bahwa Majah adalah kakeknya Ibnu Majah. Ibnu
Majah memiliki keahlian dalam bidang hadits, ahli tafsir dan ahli sejarah Islam.
Ada 2 (dua)
keahliannya dalam bidang tafsir yaitu tafsir Al Qur’an Al Karim dan At Tarikh.
Pada usia 21 tahun dia mulai mengadakan
perjalanan untuk mengumpulkan hadits. Dengan cara tersebut dia telah
mendapatkan hadits-hadits dari para ulama terkenal yang mana juga sebagai gurunya seperti Abu
Bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Abdullah bin Numaayr, Hisyam bin Ammar,
Ahmad bin Al Azhar, Basyar bin Adam serta para pengikut Imam Malik dan Al
Layss.
Karya utama Ibnu majah dalam bidang hadits
adalah Sunan Ibnu Majah yang dikenal sebagai salah satu dari enam kitab kumpulan
hadits yang terkenal dengan julukan Al Kutub As Sittah (kitab yang enam). Lima kitab hadits yang
lain dari kumpulan tersebut adalah Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu
Dawud, Sunan At Tirmidzi dan Sunan An Nasa’i (disebut dengan Sunan,
karena kitab ini mengandung ahadits yang menyinggung masalah
duniawi/mu’amalah).
Ibnu Majah wafat di tempat kelahirannya
Qazwin hari Selasa, tanggal 20 Ramadhan 273 H/18 Pebruari 887 M dalam usia 64
tahun.[3]
2. Al-Muwaththa’
(Kitab Hadis Pra Kutub Al– Sittah) karya besar Imam Malik
a.
Biografi Imam Malik
Nama lengkap dari Imam Malik adalah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi ‘Amir
ibn al Harist ibn Ustman ibn Jutsail ibn Amr ibn al Harist al Asyabiyal Himyari
Abu Abd Allah al Madaniy.[4]
Beliau lahir mungkin pada tahun 93 H di kota Madinah, keluarganya asli Yaman.
Dan di masa Nabi, keluarganya berdiam di kota Madinah. Kakek beliau adalah
seorang tabi’in dan buyutnya adalah sahabat Nabi SAW, isterinya bernama Fatimah
dan dikaruniai tiga orang putera yaitu : Yahya, Muhammad dan Hammad.[5]
Beliau wafat pada tahun 179 H dalam usia delapan puluh tujuh tahun.
Sejak kecil, beliau mendapat
pendidikan dari ayahnya yang telaten mengurus puteranya dan suka meneliti kembali
pelajarannya. Pernah ibn Malik salah menjawab pertanyaan ayahnya. Ayahnya lalu
bilang bahwa ia lantaran banyak membuang waktu dengan bermain burung dara,
ternyata itu merupakan pelajaran yang lekat dan berharga bagi ibn Malik, dan
sejak itu beliau berkonsenttrasi pada studinya.[6]
Kecerdasannya terlihat dari kemampuannya menghafal Alquran sejak usia baligh
dan pada usia tujuh belas tahun telah menguasai ilmu-ilmu agama.[7]
Dalam belajar ilmu Hadis, beliau tidak berkelana namun berkesempatan belajar
pada ulama-ulama terkemuka ketika mereka mengunjungi kota Madinah.[8] Di
antara gurunya adalah:
§
Ibn Hurmuz (w. 148 H), seorang
fakih kota
Madinah, Imam Malik berguru kepadanya selama tujuh atau delapan tahun.
§
Muhammad ibn Syihab al Zuhri (w.
123 / 124 H), seorang ulama Hadis yang menerima Hadis langsung dari sejumlah
sahabat Nabi SAW.
§
Nafi’ Maulana ibn Umar (w. 117 /
120 H), seorang hafizd dan imam dari kalangan tabi’in di Madinah. Dan seluruh
riwayatnya tidak didapati adanya kesalahan.
§
Imam Ja’far al Shadiq ibn Muhammad
ibn Ali al Husain ibn Ali ibn Abi Thalib (80 – 148 H), seorang ulama ahli ilmu
dan agama di Madinah.
§
Rabi’ah al Ra’yi ibn Abi
Abdurrahman (w. 130 / 136 H), seorang ulama yang menguasai ilmu fikih.
§
Amir ibn Abd Allah ibn al Zubair
ibn al Awwam.
§
Na’im ibn Abd Allah al Majmar.
§
Zaid ibn Aslam.
§
Abd Allah ibn Dinar al Adawi Abu
Abd al Rahman al Madini Mawla ibn Umar.[9]
Dengan kesungguhan dan ketekunan Imam
Malik dalam menuntut ilmu serta kontribusi para gurunya, Imam malik kemudian
muncul sebagai ulama besar khususnya di bidang Hadis di Madinah. Terkait dengan
pengumpulan Hadis, Imam Malik dikenal seorang yang teliti, karena beliau
menolak perawi yang tidak tsiqat, dan tidak akan meriwayatkan Hadis kecuali
yang sahih dan perawinya yang tsiqat.
Kepribadian dan sikap Imam Malik
dikenal juga seorang yang sederhana dan rendah hati. Hal ini dapat kita
jelaskan hubungan beliau dengan penguasa politik yang sangat baik, meski tidak
memberi sokongan apapun kecuali hanya memberi nasehat yang tulus, adalah tugas
seorang terdidik untuk menemui penguasa dan memerintahkan mereka berbuat ma’tuf
dan melarang berbuat munkar.[10]
Dan pada suatu saat khalifah Abu
Ja’far meminta Imam Malik menulis buku yang dapat disebar luaskan sebagai hukum
negara di seluruh dunia Islam, dan akan digunakan untuk mengadili dan
memrintah, siapa yang menyalahinya akan dituntut. Namun Imam Malik tak
sependapat dengan mengatakan bahwa para sahabat Nabi SAW telah tersebar di
seluruh dunia Islam, khususnya di masa khalifah Umar yang biasa mengirim sahabat
sebagai guru, orang sudah belajar dari sahabat tersebut dan setiap generasi
juga telah belajar dari generasi sebelumnya. Oleh karena itu sangat
memungkinkan dalam banyak kasus terdapat lebih dari satu pilihan untuk
mengamalkan ajaran Islam, akibatnya timbul berbagai pola dan kebanyakan
mempunyai kedudukan yang sama. Maka jika orang mencoba mengubah dari yang sudah
mereka ketahui kepada yang tidak mereka ketahui maka mereka akan menganggap itu
adalah bid’ah. Dengan demikian lebih baik membiarkan tiap kota dengan pengetahuan Islamnya sebagaimana
adanya. Abu Ja’far menghargai pandangan Imam Malik ini.[11]
Bahkan ketika khalifah itu menghendaki agar Imam Malik membacakan kitab itu
kepada putera khalifah, Imam Malik menjawab, pengetahuan tidak mendatangi
orang, tetapi oranglah yang mendatangi pengetahuan.
b.
Penyusunan Kitab Al-Muwatta
Kitab ini adalah karya termashur Imam
Malik di antara sejumlah karyanya yang ada. Disusunnya kitab ini adalah atas
anjuran khalifah Abu Ja’far al Mansyur dari Dinasti Abbasiyah yang bertujuan
untuk disebarluaskan di tengah-tengah masyarakat Muslim dan selanjutnya
dijadikan sebagai pedoman hukum negara di seluruh dunia Islam dan juga akan
digunakan sebagai acuan bagi para hakim untuk mengadili perkara-perkara yang
diajukan kepada mereka serta menjadi pedoman bagi para pejabat pemerintah.
Namun Imam Malik menolak tujuan yang diinginkan oleh khalifah tersebut, bahwa
agar Al Muwaththa’ digunakan satu rujukan atau satu sumber saja dalam bidang
hukum.
Kitab al Muwaththa’ mencatat Hadis
Nabi SAW dan fatwa ulama awal di Madinah.[12]
Disusun berdasarkan pola yang diawali dengan atsar baru kemudian fatwa,
sehingga al Muwaththa’ bukanlah murni kitab Hadis tetapi juga mengandung
pendapat hukum para sahabat Nabi, tabi’in dan beberapa pakar sesudah itu. Hal
ini dapat kita ketahui bahwa Imam Malik sering merujuk kepada pendapat ulama
Madinah dalam masalah yang tidak ada dalam Hadis Nabi tentangnya, bahkan juga
dalam hal memahami Hadis Nabi serta penerapannya.
Dipakainya istilah al Muwaththa’ pada
kitab Imam Malik ini adalah karena kitab tersebut telah diajukan Imam Malik
kepada tujuh puluh ahli fikih di Madinah dan ternyata mereka seluruhnya
menyetujui dan menyepakatinya.[13]
Al Muwaththa’ berarti memudahkan dan membetulkan, maksudnya adalah al
Muwaththa’ itu memudahkan bagi penelusuran Hadis dan membetulkan atas berbagai
kesalahan yang terjadi, baik pada sisi sanad maupun pada sisi matan.[14]
Menurut ibn al Hibah, Hadis yang
diriwayatkan Imam Malik berjumlah seratus ribu Hadis, kemudia Hadis-hadis
tersebut beliau seleksi dengan merujuk kesesuaian dengan alquran dan sunnah
sehingga tinggal sepuluh ribu Hadis.Dari jumlah itu beliau lakukan seleksi
kembali sehingga akhirnya yang dianggap mu’tamad berjumlah lima ratus
Hadis.[12] Beberapa kali dilakkukan revisi oleh Imam Malik atas Hadis yang
dikumpulkan mengakibatkan kitab ini memiliki lebih dari delapan puluh naskah
(versi), lima belas diantaranya yang terkenal adalah :[13]
§
Naskah Yahya ibn Yahya al Laytsi
al Andalusi, yang mendengar al Muwaththa’ pertama kali dari Abd al Rahman dan
selanjutnya Yahya pergi menemui Imam Malik secara langsung sebanyak dua kali
tanpa perantara.
§
Naskah Abi Mus’ab Ahmad ibn Abi
Bakr al Qasim, seorang hakim di Madinah.
§
Naskah Muhammad ibn al Hasan al
Syaibani, seorang murid Abu Hanifah dan murid Imam Malik.
Kitab al-Al Muwaththa’ adalah kitab
hadis yang bersistematika Fiqh. Berdasar kitab yang telah di-tahqiq oleh
Muhammad Fuad Abdul Baqi, kitab al-Al Muwaththa’ terdiri dari 2 juz, 61 kitab
(bab) dan 1824 hadis. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:
Juz I : (1) Waktu-waktu Salat,
delapan tema, 30 hadis, (2) Bersuci, tiga puluh dua tema, 115 hadis, (3) Salat,
delapan tema, 70 hadis, (4) Lupa dalam Salat, satu tema, tiga hadis, (5) Salat
Jum’at, sembilan tema, 21 hadis, (6) Salat pada bulan Romadlan, dua tema, tujuh
hadis, (7) Salat Malam, lima tema, 33 hadis, (8) Salat Jama’ah, 10 tema, 38
hadis, (9) Mengqashar Salat dalam perjalanan, dua lima tema, 95 hadis, (10) Dua
hari raya, tujuh tema, 13 hadis, (11) Salat dalam keadaan takut, satu tema,
empat hadis, (12) Salat gerhana matahari dan bulan, dua tema, empat hadis, (13)
Salat minta hujan, tiga tema, enam hadis, (14) Menghadap qiblat, enam tema, 15
hadis, (15) Al-Qur’an, 10 tema, 49 hadis, (16) Salat Mayat, enam belas tema, 59
hadis, (17) Zakat, tiga puluh tema, 55 hadis, (18) Puasa, dua puluh dua tema,
60 hadis, (19) I’tikaf, delapan tema, 16 hadis, (20) Haji, delapan tiga tema,
255 hadis.
Juz II: (21) Jihad, dua satu tema, 50
hadis, (22) Nadhar dan sumpah, Sembilan tema, 17 hadis (23) Qurban, enam tema,
13 hadis, (24) Sembelihan, empat tema, 19 hadis, (25) Bintang buruan, tujuh
tema, 19 hadis, (26) Aqiqah, dua tema, tujuh hadis, (27) Faraid, lima belas
tema, 16 hadis, (28) Nikah, dua puluh duatema, 58 hadis, (29) Talaq, tiga lima
tema, 109 hadis, (30) Persusuan, tiga tema, 17 hadis, (31) Jual beli, 49 tema,
101 hadis, (32) Pinjam meminjam, 15 tema, 1hadis, (33) Penyiraman, dua tema,
tiga hadis, (34) Menyewa tanah, satu tema, lima hadis, (35) Syufa’ah, dua tema,
empat hadis, (36) Hukum, empat satu tema, 54 hadis, (37) Wasiyat, sepuluh tema,
sembilan hadis, (38) Kemerdekaan dan persaudaraan, tiga belas tema, 25 hadis
(39) Budak Mukatabah, 13 tema, 15 hadis, (40) Budak Mudharabah, tujuh tema,
delapan hadis, (41) Hudud, 11 tema, 35 hadis, (42) Minuman, lima tema, 15
hadis, (43) Orang yang berakal, dua empat tema, 16 hadis, (44) Sumpah, lima
tema, dua hadis, (45) al- Jami’ tujuh tema, 26 hadis, (46) Qadar, dua tema, 10
hadis, (47). Akhlak yang baik, empat tema, 18 hadis, (48) Memakai pakaian,
delapan tema, 19 hadis, (49) Sifat Nabi SAW., 13 tema, 39 hadis, (50) Mata,
tujuh tema, delapan belas hadis, (51) Rambut, lima tema, 17 hadis, (52)
Penglihatan, dua tema, tujuh hadis, (53) Salam, tiga tema, delapan hadis, (54)
Minta izin, 17 tema, 44 hadis, (55) Bai’ah, satu tema, tiga hadis, (56) Kalam,
12 tema, 27 hadis, (57) Jahannam, satu tema, dua hadis, (58) Sadaqah, tiga
tema, 15 hadis, (59) Ilmu, satu tema, satu hadis, (60) Dakwah orang yang
teraniaya, satu tema, satu hadis, (61) Nama-nama Nabi SAW., satu tema, satu
hadis.
3. Al-Musnad Ahmad bin Hanbal (164-241 H/ 780-855 M)
a.
Biografi Imam Ahmad bin Hanbal
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah bin
Muhammad bin Hanbal Al Marwazy. Dia adalah ulama hadits terkenal kelahiran Baghdad. Dia dilahirkan
pada bulan Rabiul Awal, tahun 164 H/780 M. Beliau terkenal sebagai salah
seorang pendiri madzhab yang dikenal dengan nama Hanabilah (Hanbaly). Beliau
mulai mencari hadits sejak berumur 16 tahun hingga merantau ke kota-kota di
Timur Tengah. Dari perantauan inilah, beliau mendapatkan guru-guru kenamaan,
antara lain: Sufyan bin ‘Uyainah, Ibrahim bin Sa’ad, Yahya bin Qaththan. Dan
beliau adalah salah seorang murid Imam As Syafi’i yang paling setia.
Dia merupakan seorang ahli hadits yang
diakui kewara’an dan kezuhudannya. Menurut Abu Zur’ah, beliau mempunyai tulisan
sebanyak 12 macam yang dikuasai di luar kepala. Beliau juga mempunyai hafalan
matan hadits sebanyak 1.000.000 buah. Karya beliau yang sangat gemilang adalah
Musnadul Kabir. Kitab ini berisikan 40.000 buah hadits yang 10.000 di antaranya
merupakan hadits ulangan. Karya beliau yang paling utama adalah Musnad Ahmad yang tersusun dari
30.000 ahadits dalam 24 juz.
Beliau pulang ke rahmatullah pada hari
Jumat Rabiul Awal, 241 H/855 M di Baghdad dan dikebumikan di Marwaz yang mana
jenazahnya diantar oleh 800.000 orang laki-laki dan 60.000 orang perempuan.
Beliau mulai belajar Hadis pada tahun
178 H ketika berusia enam belas tahun dan menghafal jutaan Hadis semasa
hidupnya. Dalam studinya, lebih banyak di kota Baghdad, meski demikian
juga melakukan perjalanan ke berbagai tempat yaitu mula-mula kepada Qadhi Abu
Yusuf (w. 189 H), seorang pengikut Imam Abu Hanifah untuk belajar Hadis.
Kemudian ia menjadi murid Imam al Syafi’i untuk belajar fikih dan Hadis.
Selanjutnya Imam Ahmad pergi ke Yaman
untuk menerima Hadis dari Abd al Razzaq, dan setelah itu melakukan perjalanan
untuk belajar hadis dari Bisyr al Mufadhdhal al Raqqasyi, Sufyan ibn ‘Uyainah,
Yahya ibn Said al Qaththan, Abd Razzaq ibn Hamman al Shan’ani, Sulaiman ibn
Dawud al Thayalasi, Ismail ibn Ulayah, Mu’tamir ibn Sulaiman al Bashri.[15]
Kredibilitas Imam Ahmad di bidang
Hadis patut dikagumi, karena selain hafal satu juta Hadis juga sangat handal
dalam hal pengetahuan atsar para sahabat dan tabi’in.
Tentang kemuliaan pribadinya,
dikemukakan oleh ibn Hibban bahwa beliau adalah seorang ahli fikih, hafidz yang
kuat, senantiasa bersikap wara’, setia melakukan ibadah hingga ia diganjar
dengan cambukan. Allah memeliharanya dari berbuat bid’ah, dan bahkan Imam
Syafi’I menyatakan bahwa dalam hal menetapkan kesahihan dan kedhaifan Hadis,
Imam Syafi’I masih bersandar kepada Imam Ahmad, dan lebih lanjut ia menyatakan
aku keluar dari Irak dan tidak aku tinggalkan seorang yang lebih utama, lebih
wara’, dan lebih taqwa padanya selain dari Ahmad ibn Hanbal.[16]
b.
Latar Belakang Penyusunan dan Penamaan
Kitab
Para
ulama abad kedua Hijriyah tidak memisahkan hadis-hadis Nabi dari fatwa-fatwa
sahabat dan tabi’in. Keadaan ini diperbaiki oleh ulama pada abad ketiga
Hijriyah. Mereka bangkit mengumpulkan hadis dan memisahkannya dari fatwa-fatwa
sahabat dan tabi’in. Kemudian hadis-hadis tersebut ditulis dan dibukukan. Ada tiga macam kitab hadis
yang tersusun pada abad ketiga ini yaitu kitab musnad, kitab shahih, dan kitab
sunan.
Menurut T. M. Hasbi As-Shiddieqy
sebagaimana dikutip oleh Inayah Rohmaniyah, kitab Musnad adalah kitab yang
penyusunnya memasukkan semua hadis yang pernah dia terima, tanpa menerangkan
derajat-derajat hadis tersebut.
Sedangkan menurut M. Syuhudi Ismail,
kitab Musnad ialah kitab hadis yang oleh penyusunnya dihimpun seluruh hadis
yang diterimanya, dengan bentuk susunan berdasar nama perawi pertama. Urutan
nama perawi pertama, ada yang berdasarkan menurut tertib kabilah, misalnya
dengan mendahulukan Bani Hasyim, ada juga yang berdasar nama sahabat menurut
urutan waktu dalam memeluk agama Islam, ada yang dalam bentuk urutan lain.
Hadis-hadis yang dimuat dalam kitab
Musnad, tidak dijelaskan kualitasnya.
Contoh:
o
Musnad susunan Ahmad bin Hanbal
o
Musnad susunan Imam Abu al-Qasim
al-Bagawy
o
Musnad susunan Imam Usman bin Abi
Syaibah.
c.
Isi Kitab dan Sistematikanya (Metode
Penyusunan)
Imam Ahmad menyusun kitab Musnadnya
dengan urutan hadis berdasarkan:
a)
Sepuluh orang shahabat yang dijamin masuk
surga.
b)
‘Abdurrahmaan bin Abi Bakr, Zaid bin
Khaarijah, Al-Haarits bin Khazamah, dan Sa’d bin Maulaa Abi Bakr.
c)
Musnad Ahlul-Bait.
d)
Musnad dari banyak shahabat, di antaranya
: Ibnu Mas’uud, Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, Abu Sa’iid Al-Khudriy, Jaabir, Anas,
Ibnu ‘Amru bin Al-‘Aash, dan yang lainnya.
e)
Musnad penduduk Makkah (Makiyyiin)
f)
Musnad penduduk Madiinah (Madaniyyiin).
g)
Musnad penduduk Syaam (Syaamiyyiin).
h)
Musnad penduduk Kuufah (Kuufiyyiin).
i)
Musnad penduduk Bashrah (bashriyyiin).
j)
Musnad Al-Anshaar.
k)
Musnad ‘Ā‘isyah dan para shahabiyyaat.
l)
Kabilah-kabilah yang lain.
Berdasarkan sumbernya, hadis-hadis
dalam Musnad Ahmad terbagi menjadi enam bagian sebagai berikut:
1)
Bagian yang diriwayatkan oleh Abu
‘Abdirrahmaan ‘Abdullah bin Al-Imaam Ahmad rahimahumallaah – dari ayahnya
dengan mendengarnya langsung. Inilah yang diberi nama Musnad Al-Imaam Ahmad.
Jumlahnya sangat banyak mencapai ¾ bagian kitab.
2)
Bagian yang ‘Abdullah mendengarnya dari
ayahnya dan yang lainnya. Jumlahnya sangat sedikit.
3)
Bagian yang diriwayatkan ‘Abdullah dari
selain ayahnya. Bagian ini dinamakan oleh para muhadditsiin (ahli hadits)
sebagai Zawaaid (tambahan) dari ‘Abdullah. Jumlahnya cukup banyak dibandingkan
bagian yang lain, selain bagian yang pertama.
4)
Bagian yang ‘Abdullah membacanya di
hadapan ayahnya, dan ia tidak mendengar darinya. Jumlahnya sedikit.
5)
Bagian yang ia (‘Abdullah) tidak
membacakannya (di hadapan ayahnya) dan tidak pula mendengarnya, akan tetapi ia
mendapati kitab ayahnya dengan tulisan tangannya. Jumlahnya sedikit juga.
6)
Bagian yang diriwayatkan oleh Al-Haafidh
Abu Bakr Al-Qathii’iy dari selain ‘Abdullah dan ayahnya – rahimahumullah.
Jumlahnya paling sedikit.
B.
MACAM-MACAM
KITAB HADIS
Sebagaimana halnya dengan ilmu hadis, penulisan
kitab-kitab hadis juga selalu berkembang. Para
penulis kitab-kitab hadis tersebut mempunyai cara dan corak yang berbeda-beda,
terutama dalam sistematikanya. Para Muhaddisin telah menulis berbagai jenis
kitab hadis dalam berbagai bidang bahasanya. Para
pengkaji dan peneliti hadis yang datang kemudian telah mengelompokkan
kitab-kitab hadis yang bervariasi tersebut ke dalam beberapa kelompok. Jika
dikelompokkan macam-macam kitab hadis secara garis besar adalah sebagai
berikut:
1)
Kitab-kitab Hadis yang Disusun
Berdasarkan Bab
Dalam kitab-kitab ulama terdahulu jenis ini disebut
dengan al-Asnāf. Teknik penyusunan kitab jenis ini adalah mengumpulkan
hadis-hadis yang memiliki tema yang sama menjadi satu judul umum yang
mencakupnya; seperti Kitāb as-Salāh, Kitāb az-Zakāh, dan Kitāb al-Buyū’.
Kemudian hadis-hadisnya dibagi-bagi menjadi beberapa bab. Masing-masing bab
mencakup satu atau beberapa hadis yang berisi masalah juz’iyyah. Setiap bab
diberi judul yang menunjukkan temanya, seperti bab Miftāh as-Salāh at-Tahūr. Para muhaddisin menyebut judul bab itu dengan tarjamah.[17]
Keistimewaan kitab-kitab jenis ini mudah dijadikan
sebagai kitab sumber, sehingga menjadi tumpuan utama bagi para penuntut ilmu
dan para peneliti. Bagi orang yang ingin mencari hadis-hadis tentang masalah
tertentu, kitab ini akan sangat membantunya, mencari hadis-hadis yang ia
perlukan. Bagi orang yang ingin mencari sumber hadis-hadis, judul-judul yang
telah didapatkan kitab jenis ini merupakan petunjuk untuk mendapatkan
hadis-hadis yang ia cari. Penyusun kitab-kitab berdasarkan bab itu ditempuh
dengan berbagai cara, diantaranya:
a.
Al-Jawāmi’
Kata Kitāb al-Jawāmi’ adalah bentuk dari jamak dari
kata al-Jāmi’.[18] Kitab
Jāmi’ menurut istilah para Muhaddisin adalah kitab hadis yang disusun
berdasarkan bab dan mencakup hadis-hadis berbagai sendi ajaran Islam dan
sub-subnya. Secara garis besar bab-babnya mencakup tentang aqidah, ibadah
muamalah, perjalanan hidup Nabi saw, perbudakan, fitnah, dan berita hari
kiamat.[19]
Kitab Jāmi’ itu sangat banyak, yang termahsyur
diantaranya adalah: al-Jāmi’ as-Sahīh karya al-Bukhari, al-Jāmi’ as-Sahīh karya
Imam Muslim. . Dan al-Jāmi’ karya Imam at-Turmudzi atau yang dikenal dengan
Sunan at-Turmudzi. kitab ini disebut Sunan karena ia lebih menonjolkan
hadis-hadis hukum.[20]
b.
As-Sunan
Kitab Sunan adalah kitab-kitab yang menghimpun
hadis-hadis hukum yang marfu’ dan disusun berdasarkan bab-bab fiqh. Kitab jenis
ini hanya memuat hadis-hadis tertentu bukan semua aspek ajaran Islam. Kitab
sunan memuat hadis sahih, hasan dan daif. Kitab-kitab sunan yang masyhur adalah
sunan Abi Dāwud, Sunan At-Turmudzi, Sunan An-Nasā’i, dan Sunan Ibnu Mājah.[21]
c.
Al-Musannafāt
Kata al-Musannāf mengandung makna yang sama dengan
muwatta’āt yaitu kitab hadis yang disusun berdasarkan bab-bab fiqh akan tetapi
mencakup hadis mawqūf, hadis maqtū’, disatukan dengan hadis marfū’, karena
kitab-kitab jenis ini umumnya disusun pada awal pembukuan hadis.[22]
Kitab musannaf yang terkenal adalah musannaf Abdur Razzāq bin Hammām as-Sahanī.
Dan musannaf Abū Bakar bin Abū Syaibah.
d.
Al-Mustadrakāt
Kata Al-Mustadrakāt bentuk jamak dari mustadrak.
Al-Mustadrakāt merupakan kitab hadis yang memuat hadis-hadis yang tidak dimuat
dalam kitab-kitab tertentu yang sebenarnya hadis-hadis tersebut memenuhi syarat
yang dipegangi oleh penulis kitab tersebut[23].
Kitab al-Mustadrak yang terkenal adalah kitab al-Mustadrak ‘alā As-Sahīhaini
karya Al-Hakim Al-Naisaburi (321-405 H) dan Kitab Al-Ilzamāt karya Al-Dar
Quthni (306-385 H).[24]
e.
Al-Mustakhrajāt
Kata Al-Mustakhrajāt merupakan bentuk jama dari kata
al-Mustakhraj. Al-Mustakhrajāt merupakan kitab hadis yang memuat hadis-hadis
yang diambil dari kitab hadis lain yang oleh penulisnya diriwayatkan dengan
sanad sendiri, bukan dengan sanad yang serupa dengan sanad kitab semula. Kitab
Al-Mustakhraj yang masyhur adalah kitab Mustakhraj atas sahihain atau salah
satunya.[25] Kitab
yang paling banyak dibuat kitab mustkharajnya ialah sahīh bukhārī dan
sahīhmuslim.[26]
2)
Kitab-kitab hadis yang disusun
berdasarkan urutan nama-nama sahabat
Yaitu kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh setiap sahabat ditempat yang khusus dan mencantumkan nama
sahabat yang meriwayatkannya. Teknik penyusunan seperti ini sangat membantu
dalam mengetahui jumlah dan jenis hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat
dari Nabi saw. Dan mempermudah pengecekannya; lebih-lebih keberadaan kitab
seperti ini merupakan kitab yang sangat berfaidah bagi pencarian sumber hadis
yang telah diketahui nama sahabat yang meriwayatkannya, serta faidah-faidah
lain yang berkaitan dengan kemudahan pengkajian hadis.
Kitab-kitab hadis yang disusun berdasarkan nama-nama
sahabat ini ada dua macam, yaitu:[27]
a.
Kitab Musnad
Kitab musnad adalah kitab hadis yang disusun
berdasarkan urutan nama sahabat. Urutan sahabat itu ada kalanya disusun
berdasarkan urutan huruf hija’iyah, ada kalanya berdasarkan urutan waktu masuk
islamnya, dan ada kalanya berdasarkan keluhuran nasabnya.
Jumlah kitab Musnad ini sangat banyak, yang paling
masyhur dan paling tinggi martabatnya adalah Al-Musnad karya Al-Imam Ahmad bin
Hanbal, kemudian Musnad karya Abi Ya’la Al-Mushili.
b.
Al-Atrāf
Kata Atrāf adalah jama’ dari tharf yang berarti bagian
dari sesuatu. Tharf hadis adalah bagian hadis yang dapat menunjukkan hadis itu
sendiri, atau pernyataan yang dapat menunjukkan hadis, seperti hadis innama
al-a’mālu bi An-niyyāt.[28]
Kitab al-Atrāf adalah kitab-kitab yang disusun untuk
menyabutkan bagian hadis yang menunjukkan keseluruhannya, biasanya di dalamnya
dituliskan pangkal-pangkal hadis saja.[29]
lalu disebutkan sanad-sanadnya pada kitab-kitab sumbernya. Sebagian penyusun
menyebutkan sanadnya dengan lengkap, dan sebagian lainnya hanya menyebutkan
sebagiannya. Kitab-kitab ini tidak memuat matan hadis secara lengkap, dan
bagian hadats yang dimuat pun tidak pasti bagian dalam arti tekstual.
c.
Al-Ma‘ājim
Kata al-Ma‘ājim adalah bentuk jamak dari kata
al-mu’jam. Kitab mu’jam menurut istilah para muhaddisin adalah kitab hadis yang
disusun berdasarkan susunan guru-guru penulisnya yang kebanyakan disusun
berdasarkan urutan huruf hija’iyah (alfabetis). Beberapa kitab mu’jam yang
terkenal adalah tiga buah kitab mu’jam karya Al-Muhaddis al-Hafizh al-Kabir Abu
Al-Qasim Sulaiman bin Ahmad al-Thabrani (W.360 H). Ketiga kitab mu’jam itu
adalah: al-Mu’jam al-Sagīr, al-Mu’jam al-Ausat, dan al-Mu’jam Al-Kabīr.[30]
Dua mu’jam yang pertama disusun berdasarkan urutan nama guru-gurunya, sedangkan
mu’jam yang terakhir disusun berdasarkan urutan nama para sahabat menurut
urutan huruf mu’jam.
3)
Kitab-kitab yang disusun
berdasarkan urutan awal hadis
Yaitu kitab-kitab hadis yang menyebutkan beberapa kata
awal setiap hadis yang disusun berdasarkan urutan mu’jam . Jadi dimulai dengan
hadis yang diawali dengan huruf alif, lalu hadis yang diawali dengan huruf ba’,
dan seterusnya.
Kitab seperti ini memberikan banyak kemudahan bagi
orang yang menelaahnya. Akan tetapi, terlebih dahulu harus diketahui dengan
pasti huruf awal setiap hadis yang dicari sumbernya itu. Bila tidak, maka akan
sia-sialah upaya pencariannya itu. Kitab-kitab hadis yang disusun dengan cara
seperti ini ada dua macam antara lain:[31]
a)
Kitab Majami’, yaitu kitab-kitab yang
merupakan himpunan hadis dari berbagai kitab hadis.
b)
Kitab-kitab tentang hadis-hadis yang
sering diucapkan oleh orang umum.
Kitab ini mencakup banyak hadis yang sering diucapkan
oleh umat pada umumnya, dan kebanyakan hadisnya tidak terdapat dalam kitab lain
yang sejenis.
4)
Kitab-kitab Himpunan Hadis
Yaitu kitab-kitab yang disusun untuk menghimpun hadis
dari sejumlah kitab sumber hadis. Kitab-kitab jenis ini disusun dengan dua cara
yaitu:[32]
a.
Kitab Hadis yang berdasarkan
urutan bab
Di antara kitab jenis ini yang terpenting adalah: a).
Jami’ al-Ushūl min Ahadīs ar-Rasūl karya Ibnul Atsir al-Mubarak ditulis tanpa
disertai sanad. Setiap hadis diberi penjelasan ringkas tentang lafal-lafal yang
asing. Namun tidak disertai dengan penjelasan tentang derajad hadis-hadis
sunan, bahkan ia tidak menyebutkan komentar al-Turmudzi terhadap hadis-hadis
yang diriwayatkannya, sehingga hal ini membuat para pembacanya membutuhkan
upaya lebih lanjut untuk mengetahiunya. b). Kanzul ‘Ummal fi sunan al-aqwal wa
al-af’al karya al-Syaikh Al-Muhaddis Ali bin Hisam al-Muttaqi al-Hindi(W.975
H), merupakan sembilan puluh tiga buah kitab hadis, menurut hasil perhitungan,
sehingga ia tampil sebagai kitab hadis yang komplit dan tidak ada duanya.
b.
Hadis-hadis yang disusun
berdasarkan urutan huruf-huruf pertama pada mu’jam
Di antara kitab jenis ini yang terpenting adalah: a)
Al-Jami’ al-Kabīr atau Jam’ul Jawami’ karya Imam al-Hafizh Jalaluddin
as-Suyuthi. Kitab ini merupakan cikal bakal kitab Kanzul Ummal. b) Al-Jami’
as-Sagīr li Ahadis al-Basyir an- Nazir karya As-Suyuthi pula. Kitab ini
merupakan cuplikan dari kitab al-Jami’ al-Kabīr.
·
Kitab az-Zawā’id
Az-Zawāid merupakan kitab –kitab hadis yang disusun
untuk menghimpun hadis-hadis yang tidak terdapat pada kitab hadis yang lain,
yakni selain hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab yang diperbandingkan
itu. Sangat banyak ulama yang telah menyusun kitab az-Zawā’id ini, sebagian
yang terkenal adalah: 1) Majma’ az-Zawā’id wa Manba’ al-Fawā’id oleh al-Hafizh
Nuruddin Ali bin Abu Bakar al-Haitsami. 2) Al-Matālib al-‘Aliyah bi Zawā’id
al-Masānid as-samāniyah karya al-Hafizh Ahmad bin Ali bin Hajar al-Atsqalani.
Kitab ini menghimpun hadis-hadis yang melebihi al-Kutub al-Sittah.[33]
·
Kitab-Kitab Takhrīj
Yaitu kitab-kitab yang disusun untuk mentakhrij
hadis-hadis kitab tertentu. Di antara kitab takhrij yang penting adalah: 1)
Nashbu Ar-Rāyah li Ahādis al-Hidāyah karya Jamaluddin Abu Muhammad Abdillah bin
Yusuf al-Zaila’i al- Hanafi. Kitab ini merupakan takhrij hadis-hadis kitab
Hidayah, sebuah kitab fiqh mazhab Hanafi, yang disusun oleh Ali bin Abu Bakar
al-Maghinani. 2) Al-Mughni ‘an Haml al-Asfār fi al-Asfār fi Takhrīj Mā fi
al-Ihya’ min al-Akhbār karya Imam Abdurrahim bin al-Husain al-Iraqi. Kitab ini
merupakan kitab takhrij hadis-hadis dalam kitab Ihya ‘Ulūm al-Dīn karya Imam
Al-Gzālī.[34]
·
Al-Ajzā’
Al-Juz’ merupakan kitab yang disusun untuk menghimpun
hadis-hadis yang diriwayatkan dari seorang perawi, baik dari kalangan sahabat
maupun generasi setelahnya.[35]
seperti Juz’ Hadis Abi Bakar dan Juz’ Hadis Malik. Pengertian lain menjelaskan
bahwa al-Juz’ adalah kitab hadis yang membahas sanad-sanad sebuah kalimat
seperti Ikhtiyar al-Aulani Hadis Ikhtisham al-Mala’I al-A’la karya al-Hafiz
Ibnu Rajab.
·
Al-Masyikhat
Al-Masyikhat adalah kitab-kitab yang disusun untuk
menghimpun nama guru-guru penyusunnya, hadis atau kitab yang mereka terima
beserta sanadnya, berikut para penyusunnya. Di antara kitab semacam ini yang
paling masyhur adalah agenda pengajian hadis yang ditulis oleh al-Ra’aini yang
diberi judul al-Nubdzat al-mustafad minal riwayat wa al-isnad.
·
Al-‘Ilal
Al-‘Ilal adalah kitab-kitab hadis yang disusun untuk
menghimpun hadis-hadis yang memiliki cacat, disertai penjelasan tentang
cacatnya itu. Penyusunan kitab sejenis ini merupakan puncak prestasi kerja
penyusunnya, karena pekerjaan ini membutuhkan ketekunan, kerja keras dan waktu
yang panjang untuk meneliti sanad , memusatkan pengkajian dan
mengulang-ngulanginya untuk mendapat kesimpulan.[36]
Dari segi jumlah, koleksi dari berbagai macam (tipe)
tersebut sangatlah berlimpah dan sulit dipastikan. Pada abad pertama (Hijriah)
saja, M. Azami (1977) berani menaksir ada ratusan booklet (kitab mini, brosur
hadis) yang beredar. Kemudian bila ditambah seratus tahun berikutnya (abad ke-2
H) akan lebih sulit lagi memerkirakan jumlah booklet dengan (ditambah) kitab
hadis yang muncul. Bahkan, katanya, para ulama hadis mengestimasi jumlahnya
mencapai ribuan. Dari ribuan koleksi itu, hanya sejumlah kecil yang masih bisa
dijumpai. Mengenai hal ini, Azami(1977) mengajukan dua hipotesis, pertama,
perkiraannya tentang jumlah koleksi yang sampai ratusan (bahkan ribuan) tadi
adalah salah total. Hipotesis kedua, koleksi-koleksi tersebut pada suatu waktu
memang ada, namun semakin punah.
Hipotesisnya yang terakhir ini memang memunculkan
kemungkinan lain di antaranya bahwa itu semua karena ketelodoran para ahli
hadis atau mereka merasa tidak memerlukan literatur hadis sehingga tak
terpelihara sampai rusak. Namun demikian, Azami (1977) meyakini hipotesisnya
yang kedua adalah tepat dan benar. Koleksi-koleksi tersebut tidaklah rusak
ataupun musnah, namun terserap ke dalam karya-karya para ahli hadis yang
kemudian. Oleh karenanya, ketika kitab-kitab (tipe) ensiklopedik tersusun, para
ahli hadis merasa tidak perlu lagi memelihara kitab-kitab ataupun booklets,
sehingga lambat-laun makin punah.[37]
Adapun mengenai kitab koleksi hadisnya siapa yang lebih
dulu muncul, juga muncul perbedaan pendapat. Sebagai contoh, Muhammad Rasyid
Rida, seperti yang dikutip Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib (1989), berpendapat bahwa
pada kurun awal dari kalangan tabiin, ahli yang pertama kali mencatat hadis dan
membukukannya menjadi sebuah koleksi (Musannāf) adalah Khalid ibn Ma‘dan
al-Lahmasi (w. 103/4 H). Ibn Syihab al-Zuhri, kata Rida, terkenal sebagai yang
pertama karena melakukannya atas dasar perintah khalifah Umayyah. Sementara
al-Khatib sendiri berpendapat bahwa penulisan hadis yang bersifat perorangan
(berbentuk koleksi pribadi) sudah ada sejak periode sahabat dan tabi‘in. Ia
mencontohkan Ibn ‘Amr (w. 63/682) dan Hammam ibn Munabbih (w. 101/719) yang
mempunyai koleksi sahifah. Sedangkan, kalau koleksi yang bersifat resmi (atas
perintah khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz) adalah Abu Bakar. Ibn Hazm dan
al-Zuhri.[38]
BAB III
PENUTUP
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Kutubussittah menjadi salah
satu diantara referensi mereka yang ingin,akan dan sedang mendalami ilmu
hadist, dan tentunya masih sangat banyak referensi yang lain yang memuat hal
yang sama.
Masing-masing dari Kutubussitah memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing,tapi bagaimanapun juga kitab-kitab tersebut serta muallifnya telah memberikan sumbangsih maha besar bagi islam dan kaum muslimin khususnya bagi mereka yang mempelajari ilmu hadist.
Masing-masing dari Kutubussitah memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing,tapi bagaimanapun juga kitab-kitab tersebut serta muallifnya telah memberikan sumbangsih maha besar bagi islam dan kaum muslimin khususnya bagi mereka yang mempelajari ilmu hadist.
Kerja keras mereka telah melahirkan maha karya luar biasa dalam hal
menjaga,melestarikan dan melanjutkan hadis-hadis nabi dari satu generasi ke
generasi selanjutnya. Adalah suatu kesia-sian rasanya apabila dengan adanya
literatur-literatur yang ada tidak di ikuti dengan penguasaan mendalam terhadap
hadis-hadis Nabi SAW tersebut.
Ada
beberapa ulama yang memberikan penilaian dan kritik terhadap penyeleksian Hadis
yang dilakukan Imam Malik dalam kitab al Muwaththa’, diantaranya adalah:
Al Hafidz ibn Abd al Bar, seorang ulama abad ke 5 H, dalam penelitiannya
terhadap kitab al Muwaththa’ berkesimpulan bahwa semua Hadis yang menggunakan
ungkapan balaghani dan perkataannya “ dari al tsiqah “ yang tidak
disandarkannya pada seseorang dan terdapat enam puluh Hadis semuanya musnad
tanpa melalui jalur Malik. Kemudian terdapat empat Hadis yang tidak dikenal
yaitu, pertama, dalam bab al ‘Ama fi al Sahwi (perbuatan ketika kelupaan),
kedua, dalam bab Maja’a fi Laylat al Qadr (sesuatu yang dating pada saat malam
al Qadr), ketiga, dalam bab al Jami’ dan keempat dalam bab Istimthar bi al
Nujum ( meminta hujan dengan bintang) pada bagian terakhir dalam bab Salat.[39]
Ibn Ashir berpendapat bahwa kitab al Muwaththa’ adalah kitab yang
bermanfaat, dimana pembagian babnya sebagaimana dalam kitab fikih namun di
dalamnya terdapat Hadis yang lemah sekali bahkan munkar. Oleh karena itu al
Muwaththa’ tidak diletakkan dalam jajaran kitab al Khamsah akan tetapi
posisinya menduduki tangga keenam.[40]
Beberapa tokoh ulama modern berpendapat bahwa Imam Malik bukan ahli Hadis
dan kitabnya al Muwaththa’ bukan kitab Hadis akan tetapi adalah kitab fikih
serta sekaligus karyanya sebagai kitab fikih. Ulama yang berpendapat itu adalah
ustadz Ali Hasan Abd al Qadir dalam kitabnya Nazratun ‘Amatun fi Tarikh al
Fiqh. Pendapat tersebut telah dibantah oleh Muhammad Abu Zahwu dalam kitabnya
al Hadist wa al Muhadditsun. Adapun inti bantahan abu zahwu adalah:
Memang benar al Muwaththa’ karya Imam Malik memuat fikih dan
undang-undang, akan tetapi tidak menutup tujuan lain yaitu mengumpulkan
Hadis-hadis sahih. Oleh karena itu kitabnya mencakup Hadis Nabawi dan fikih
Islami.
Bercampurnya di dalam kitab al Muwaththa’ kandungan yang mencakup sabda
nabi SAW, pendapat sahabat dan fatwa tabi’in dan sebagian pendapat Imam Malik
tidak dapat dijadikan alasan bahwa itu bukan kitab Hadis, karena muhaddisin
yang lain juga menempuh cara yang demikian.[41]
Ahmad ibn Hanbal dengan nama kunyah Abū ’Abdillāh bernama lengkap Ahmad
ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilāl ibn Asad ibn Idris ibn ’Abdillāh bin Hayyān
ibn ’Abdillāh bin Anās ibn ’Auf ibn Qasit ibn Mazin ibn Syaiban ibn Zulal ibn
Isma’il ibn Ibrahim. Beliau menyusun kitab hadis berupa Musnad. Kitab ini
dipandang pokok dan termasuk dalam jajaran kutub al-tis’ah. Kitab ini berjumlah
40.000 hadis dengan 10.000 hadi sberulang-ulang. Banyak pendapat para ulama
dalam menilai kualitas hadis yang terdapat dalam kitab Musnad ini. Ada yang mengatakan
sekiranya Musnad ini hanya terdiri dari hadis-hadis yang disusun oleh Imam
Ahmad saja, maka tidak akan ditemukan hadis yang tidak dipakai sama sekali.
Akan tetapi kitab in telah ditambah oleh putranya Abdullah dan oleh Abu Bakar
al-Qathi’y, sehingga di dalamnya ditemukan hadis-hadis dha’if bahkan maudhu’.
Wallhu a’lam,-
DAFTAR PUSTAKA
Azami, Muhammad Mustafa, Studies in Hadith Methodology and Literature.
Indianapolis,
(Indiana: American Trust Publications, 1977)
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan
Bintang, 1991)
M.M. Azami, Memahami Ilmu Hadis Telaah Metodologi dan literature Hadis
, terj. Studies in Hadith Methodology and literature (Jakarta : Lentera, 2003), cet.III
Moenawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzab (Jakarta : Bulan
Bintang, 1994)
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadis, edisi terjemahan bahasa Indonesia: Intisari Ilmu Hadis oleh Muhtadi
Ridwan, (Malang:
UIN Malang Press, 2007)
Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fī ‘Ulūm al-Hadīs, (Damaskus : Dār
al-Fikr, 1997)
M. ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul Hadis, (Jakarta:
Gaya Media,
2007)
Nawir Yuslem, Sembislan Kitab Induk Hadis, Biografi Penulisnya dan
Sistematika Penulisannya, ( Jakarta:
Hijri Pustaka Utama, 2006)
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulum al-Hadis, (Bandung: Remaja Rosdakarta, 1995)
Ramli Abdul Wahid dan Husnel Anwar Matondang, Kamus Lengkap Ilmu
Hadis, (Medan:
Perdana Publising, 2011)
Syibah al Din Ahmad ibn Ali ibn Hajr al Asqalani, dalam Nawir Yuslem,
Sembilan Kitab Induk Hadis (Jakarta
: Hijri Pustaka Utama, 2006)
http://hendrahandsome.blogspot.com/2011/03/mengenal-para-imam-perawi-hadits.html,
dikutip pada tanggal 25 April 2015@01.13 AM
http://ri4nkece.blogspot.com/2009/07/kutubus-sittah-dan-katagorinya.html, dikutip pada tanggal 24 April 2015@11.34 PM
http://hendrahandsome.blogspot.com/2011/03/mengenal-para-imam-perawi-hadits.html,
dikutip pada tanggal 25 April 2015@12.51 AM
[1] http://hendrahandsome.blogspot.com/2011/03/mengenal-para-imam-perawi-hadits.html, dikutip pada tanggal 25 April 2015@01.13 AM
[2] http://ri4nkece.blogspot.com/2009/07/kutubus-sittah-dan-katagorinya.html, dikutip pada tanggal 24 April 2015@11.34 PM
[3] http://hendrahandsome.blogspot.com/2011/03/mengenal-para-imam-perawi-hadits.html, dikutip pada tanggal 25 April 2015@12.51 AM
[4] Syibah al Din Ahmad ibn Ali ibn Hajr al Asqalani, dalam Nawir Yuslem, Sembilan Kitab Induk Hadis (Jakarta : Hijri Pustaka Utama, 2006), hlm18
[5] M.M. Azami, Memahami Ilmu Hadis Telaah Metodologi dan literature Hadis , terj. Studies in Hadith Methodology and literature (Jakarta : Lentera, 2003), cet.III, hlm 142
[6] Ibid, hlm 142
[7] Moenawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzab (Jakarta : Bulan Bintang, 1994), hlm 99
[8] M.M. Azamai, Memahami Ilmu Hadis…..h.143
[9] Nawir Yuslem, Sembilan Kitab Induk Hadis….h.19 – 20
[10] M.M. Azami, Memahami Ilmu Hadis….h.143
[11] Ibn Abi Hatim al Razi dalam M.M. Azami, Memahami Ilmu Hadis,….h.143
[12] M.M. Azami, Memahami Ilmu Hadis…..h.145
[13] Muhammad Abu Zahwu dalam Nawir Yuslem, Sembilan Kitab Induk Hadis,…h.23
[14] Zarqani dalam Nawir Yuslem, Sembilan Kitab Induk Hadis,….h.23
[15] As-Shalih dalam Nawir Yuslem, Sembilan Kitab Induk Hadis,…h.36
[16] Abu Zahwu dalam Nawir Yuslem, Sembilan Kitab Induk Hadis, …h.37
[17] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulum al-Hadis, (Bandung: Remaja Rosdakarta, 1995), h. 181
[18] Ramli Abdul Wahid dan Husnel Anwar Matondang, Kamus Lengkap Ilmu Hadis, (Medan: Perdana Publising, 2011), h. 92
[19] Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadis, edisi terjemahan bahasa Indonesia: Intisari Ilmu Hadis oleh Muhtadi Ridwan, (Malang: UIN Malang Press, 2007), h. 188
[20] Nuruddin ‘Itr, Op.Cit, h. 182.
[21] Ibid, h. 183.
[22] Ramli Abdul Wahid dan Husnel Anwar Matondang, Op.Cit, h. 159
[23] Ibid, hal. 164
[24] Nawir Yuslem, Sembislan Kitab Induk Hadis, Biografi Penulisnya dan Sistematika Penulisannya, ( Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2006), h. 105
[25] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, Op.Cits, h. 86
[26] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1991) h. 139
[27] Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fī ‘Ulūm al-Hadīs, (Damaskus : Dār al-Fikr, 1997) h. 201
[28] Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fii ‘Ulum al-Hadis, Op.Cit,h. 201
[29] Ramli Abdul Wahid dan HusnelAnwar Matondang, Kamus lengkap. Op.Cit, h. 29
[30] Mahmud Thahhan, Op.Cit, h. 188
[31] Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fii ‘Ulum al-Hadis, Op.Cit, h. 203
[32] Ibid, h. 205
[33] Ibid, h. 206-207
[34] Ibid, h. 208
[35] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, Op.Cit, h. 87
[36] Ibid
[37] Azami, Muhammad Mustafa, Studies in Hadith Methodology and Literature. Indianapolis, (Indiana: American Trust Publications, 1977), h. 212
[38] M. ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul Hadis, (Jakarta: Gaya Media, 2007), h. 186
[39] Abu Zahwu dalam Nawir Yuslem, Sembilan Kitab Induk Hadis, ….h.27
[40] Kafwary dalam Nawir Yuslem, Sembilan Kitab Induk Hadis,…h.27
[41] Abu Zahwu dalam Nawir Yuslem, Sembilan Kitab Induk Hadis, ….h.28
Penutup
Melalui penelusuran tentang para imam perawi hadits dan beragam kitab hadis, makalah ini mengajak untuk merenung tentang kekayaan intelektual yang diwariskan oleh para ulama. Semoga pemahaman ini menjadi landasan kokoh dalam menjalankan ajaran Islam, serta memperkuat kecintaan kita terhadap hadits sebagai sumber hikmah dan pedoman hidup.