BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai dasar negara,
Pancasila kembali diuji ketahanannya dalam era reformasi sekarang. Merekahnya
matahari bulan Juni 1945, 63 tahun yang lalu disambut dengan lahirnya sebuah
konsepsi kenegaraan yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, yaitu
lahirnya Pancasila.
Sebagai falsafah negara, tentu
Pancasila ada yang merumuskannya. Pancasila memang merupakan karunia terbesar
dari Allah SWT dan ternyata merupakan light-star bagi segenap bangsa Indonesia
di masa-masa selanjutnya, baik sebagai pedoman dalam memperjuangkan
kemerdekaan, juga sebagai alat pemersatu dalam hidup kerukunan berbangsa, serta
sebagai pandangan hidup untuk kehidupan manusia Indonesia sehari-hari, dan yang
jelas tadi telah diungkapkan sebagai dasar serta falsafah negara Republik
Indonesia.
Pancasila telah ada dalam
segala bentuk kehidupan rakyat Indonesia, terkecuali bagi mereka yang tidak
Pancasilais. Pancasila lahir 1 Juni 1945, ditetapkan pada 18 Agustus 1945
bersama-sama dengan UUD 1945. Bunyi dan ucapan Pancasila yang benar berdasarkan
Inpres Nomor 12 tahun 1968 adalah satu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua,
Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tiga, Persatuan Indonesia. Empat, Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dan
kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Setiap bangsa dan negara yang
ingin berdiri kokoh kuat, tidak mudah terombang-ambing oleh kerasnya persoalan
hidup berbangsa dan bernegara, sudah barang tentu perlu memiliki dasar negara
dan ideologi negara yang kokoh dan kuat pula. Tanpa itu, maka bangsa dan negara
akan rapuh.
Mempelajari Pancasila lebih
dalam menjadikan kita sadar sebagai bangsa Indonesia yang memiliki jati diri
dan harus diwujudkan dalam pergaulan hidup sehari-hari untuk menunjukkan
identitas bangsa yang lebih bermartabat dan berbudaya tinggi.
Nilai-nilai
Pancasila sebagai sumber acuan dalam menyusun etika kehidupan berbangsa bagi
seluruh rakyat Indonesia, maka Pancasila juga sebagai paradigm pembangunan,
maksudnya sebagai kerangka pikir, sumber nilai, orientasi dasar, sumber asas
serta arah dan tujuan dari
suatu perkembangan perubahan serta proses
dalam suatu bidang tertentu. Pancasila sebagai paradigma
pembangunan mempunyai arti bahwa Pancasila
sebagai sumber nilai, sebagai dasar, arah dan tujuan
dari proses pembangunan. Untuk itu segala aspek dalam
pembangunan nasional harus mendasarkan pada hakikat nilai-nilai sila-sila Pancasila
dengan mewujudkan peningkatan harkat dan martabat manusia secara konsisten
berdasarkan pada nilai-nilai hakikat kodrat manusia.
Dalam berbagai
sudut pandang mengenai teori pancasila tidak dapat dielakkan lagi bahwa
pancasila merupakan pandangan hidup bangsa indonesia, maka penulis merujuk pada
kajian antologis, epistemologis, dan aksiologi pancasila dalam menyusun
beberapa kalimat yang tingkat relevansinya mencapai topik makalah yang akan
dibuat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di
atas maka penulis merumuskan masalah mengenai kajian pancasila dari berbagai
sudut pandang yaitu, apa saja inti dari kajian ontologis, epistemolgi, dan
aksiologi pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ...?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah
ini yaitu untuk mengetahui inti atau pokok kajian ontologis, epistemologi, dan
aksiologi pancasila serta pengaruhnya kehidupan berbangsa dan bernegara.
1.4 Manfaat
Manfaat dari pembuatan makalah
yang berjudul tentang kajian antologis, epistemologi, dan aksiologi pancasila
adalah sebagai sumber referensi khasanah keilmuwan dan pemahaman kita sebagai
warga negara tentang ideologi dasar negara kita.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Filsafat Pancasila
Pancasila dikenal sebagai
filosofi Indonesia. Kenyataannya definisi filsafat dalam filsafat Pancasila
telah diubah dan diinterpretasi berbeda oleh beberapa filsuf Indonesia.
Pancasila dijadikan wacana sejak 1945. Filsafat Pancasila senantiasa diperbarui
sesuai dengan “permintaan” rezim yang berkuasa, sehingga Pancasila berbeda dari
waktu ke waktu.
- Filsafat Pancasila Asli
Pancasila merupakan konsep adaptif filsafat Barat. Hal
ini merujuk pidato Sukarno di BPUPKI dan banyak pendiri bangsa merupakan alumni
Universitas di Eropa, di mana filsafat barat merupakan salah satu materi kuliah
mereka. Pancasila terinspirasi
konsep humanisme, rasionalisme, universalisme, sosiodemokrasi, sosialisme
Jerman, demokrasi parlementer, dan nasionalisme.
- Filsafat Pancasila versi Soekarno
Filsafat Pancasila kemudian dikembangkan
oleh Sukarno sejak 1955 sampai berakhirnya kekuasaannya (1965). Pada saat itu
Sukarno selalu menyatakan bahwa Pancasila merupakan filsafat asli Indonesia yang diambil dari budaya dan tradisi Indonesia dan akulturasi budaya India
(Hindu-Budha), Barat (Kristen), dan Arab (Islam). Menurut Sukarno “Ketuhanan” adalah asli berasal
dari Indonesia, “Keadilan Soasial” terinspirasi dari konsep Ratu Adil. Sukarno
tidak pernah menyinggung atau mempropagandakan “Persatuan”.
- Filsafat Pancasila versi Soeharto
Oleh
Suharto filsafat Pancasila mengalami Indonesiasi. Melalui filsuf-filsuf yang
disponsori Depdikbud, semua elemen Barat disingkirkan dan diganti
interpretasinya dalam budaya Indonesia, sehingga menghasilkan “Pancasila truly
Indonesia”. Semua sila dalam Pancasila adalah asli Indonesia dan Pancasila dijabarkan menjadi lebih rinci
(butir-butir Pancasila). Filsuf Indonesia yang bekerja dan mempromosikan bahwa
filsafat Pancasila adalah truly Indonesia antara lain Sunoto, R. Parmono,
Gerson W. Bawengan, Wasito Poespoprodjo, Burhanuddin Salam, Bambang Daroeso,
Paulus Wahana, Azhary, Suhadi, Kaelan, Moertono, Soerjanto Poespowardojo, dan
Moerdiono.
Berdasarkan
penjelasan diatas maka pengertian filsafat Pancasila secara umum adalah hasil
berpikir/pemikiran yang sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia yang dianggap,
dipercaya dan diyakini sebagai sesuatu (kenyataan, norma-norma, nilai-nilai)
yang paling benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai
bagi bangsa Indonesia.
Selanjutnya
filsafat Pancasila mengukur adanya kebenran yang bermacam-macam dan
bertingkat-tingkat sebgai berikut:
1.
Kebenaran indra (pengetahuan
biasa);
2.
Kebenaran ilmiah (ilmu-ilmu
pengetahuan);
3.
Kebenaran filosofis (filsafat);
4.
Kebenaran religius (religi).
Untuk lebih meyakinkan bahwa Pancasila itu adalah
ajaran filsafat, sebaiknya kita kutip ceramah Mr.Moh Yamin pada Seminar Pancasila di Yogyakarta tahun 1959
yang berjudul “Tinjauan Pancasila Terhadap Revolusi Fungsional”, yang isinya
anatara lain sebagai berikut:
Tinjauan Pancasila adalah tersusun secara
harmonis dalam suatu sistem filsafat. Marilah kita peringatkan secara ringkas
bahwa ajaran Pancasila itu dapat kita tinjau menurut ahli filsafat ulung, yaitu Friedrich Hegel
(1770-1831) bapak dari filsafat Evolusi Kebendaan seperti diajarkan oleh Karl
Marx (1818-1883) dan menurut tinjauan Evolusi Kehewanan menurut Darwin Haeckel,
serta juga bersangkut paut dengan filsafat kerohanian seperti diajarkan oleh
Immanuel Kant (1724-1804).
Menurut Hegel hakikat filsafatnya ialah suatu sintese pikiran yang lahir
dari antitese pikiran. Dari pertentangan pikiran lahirlah paduan pendapat yang
harmonis. Dan ini adalah tepat. Begitu pula denga ajaran Pancasila suatu
sintese negara yang lahir dari antitese.
2.2 Kajian Ontologis
Secara ontologis,
Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakikat
dasar dari sila-sila Pancasila. Pancasila terdiri atas lima sila
memiliki satu kesatuan dasar ontologis maksudnya setiap sila bukan merupakan
asas yang berdiri sendiri-sendiri.
Manusia merupakan
pendukung pokok dari sila-sila Pancasila. Maksudnya pada hakikatnya manusia
memiliki hakikat mutlak yaitu monopluralis, atau monodualis sebagai
dasar ontologis Pancasila.
Kesesuaian hubungan negara
dengan landasan sila-sila Pancasila adalah berupa hubungan sebab-akibat. Yaitu
sebagai berikut :
- Negara sebagai pendukung hubungan, sedangkan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil sebagai pokok pangkal hubungan.
- Landasan sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat dan adil adalah sebagai sebab, dan negara adalah sebagai akibat.
Ontologi ialah penyelidikan hakikat ada
(esensi) dan keberadaan (eksistensi) segala sesuatu: alam semesta, fisik,
psikis, spiritual, metafisik, termasuk kehidupan sesudah mati, dan Tuhan.
Ontologi Pancasila mengandung azas dan nilai antara lain:
o
Tuhan yang Maha Esa adalah sumber eksistensi kesemestaan. Ontologi
ketuhanan bersifat religius, supranatural, transendental dan suprarasional;
o
Ada – kesemestaan, alam semesta (makrokosmos)
sebagai ada tak terbatas, dengan wujud dan hukum alam, sumber daya alam yang
merupakan prwahana dan sumber kehidupan semua makhluk: bumi, matahari, zat
asam, air, tanah subur, pertambangan, dan sebagainya;
o
Eksistensi subyek/ pribadi
manusia: individual, suku, nasional, umat manusia (universal). Manusia adalah
subyek unik dan mandiri baik personal maupun nasional, merdeka dan berdaulat.
Subyek pribadi mengemban identitas unik: menghayati hak dan kewajiban dalam
kebersamaan dan kesemestaan (sosial-horisontal dengan alam dan sesama manusia),
sekaligus secara sosial-vertikal universal dengan Tuhan. Pribadi manusia
bersifat utuh dan unik dengan potensi jasmani-rohani, karya dan kebajikan
sebagai pengemban amanat keagamaan;
o
Eksistensi tata budaya, sebagai
perwujudan martabat dan kepribadian manusia yang unggul. Baik kebudayaan
nasional maupun universal adalah perwujudan martabat dan kepribadian manusia:
sistem nilai, sistem kelembagaan hidup seperti keluarga, masyarakat,
organisasi, negara. Eksistensi kultural dan peradaban perwujudan teleologis
manusia: hidup dengan motivasi dan cita-cita sehingga kreatif, produktif, etis,
berkebajikan;
o
Eksistensi bangsa-negara yang
berwujud sistem nasional, sistem kenegaraan yang merdeka dan berdaulat, yang
menampilkan martabat, kepribadian dan kewibawaan nasional. Sistem kenegaraan
yang merdeka dan berdaulat merupakan puncak prestasi perjuangan bangsa, pusat
kesetiaan, dan kebanggaan
nasional
2.3 Kajian Epistemologis
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, syarat,
susunan, metode, ilmu pengetahuan. Epistemologi meneliti sumber pengetahuan,
proses dan syarat terjadinya pengetahuan, batas ilmu pengetahuan.
Menurut Titus (1984 : 20) terdapat tiga
persoalan yang mendasar dalam epistemologi, yaitu:
· Tentang sumber pengetahuan manusia
· Tentang teori kebenaran pengetahuan manusia
· Tentang watak pengetahuan manusia
Secara epistemologis
Pancasila sebagai filsafat yaitu sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan.
Sumber pengetahuan Pancasila
adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri. Sedangkan
susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan yaitu Pancasila
memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila-sila
Pancasila maupun isi arti dari sila-sila Pancasila itu.
Sebagai suatu paham
epistemologi, maka Pancasila mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu
pengetahuan tidak bebas nilai dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan
pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia.
Epistemologi menyelidiki sumber, proses, syarat-syarat batas, validitas dan
hakikat ilmu. Epistemologi Pancasila secara mendasar meliputi nilai-nilai dan azas-azas:
Mahasumber ialah Tuhan, yang menciptakan kepribadian manusia dengan
martabat dan potensi unik yang tinggi, menghayati kesemestaan, nilai agama dan
ketuhanan. Kepribadian manusia sebagai subyek diberkati dengan martabat luhur:
pancaindra, akal, rasa, karsa, cipta, karya dan budi nurani. Kemampuan martabat
manusia sesungguhnya adalah anugerah dan amanat ketuhanan/ keagamaan. Adapun Sumber pengetahuan dibedakan dibedakan secara kualitatif,
antara:
o
Sumber primer, yang tertinggi dan
terluas, orisinal: lingkungan alam, semesta, sosio-budaya, sistem kenegaraan
dan dengan dinamikanya;
o
Sumber sekunder: bidang-bidang ilmu
yang sudah ada/ berkembang, kepustakaan, dokumentasi;
o
Sumber tersier: cendekiawan,
ilmuwan, ahli, narasumber, guru.
Wujud dan
tingkatan pengetahuan dibedakan secara hierarkis:
o Pengetahuan
indrawi;
o Pengetahuan
ilmiah;
o Pengetahuan
filosofis;
o Pengetahuan
religius.
Pengetahuan manusia relatif
mencakup keempat wujud tingkatan itu. Ilmu adalah perbendaharaan dan prestasi
individual maupun sebagai karya dan warisan budaya umat manusia merupakan
kualitas martabat kepribadian manusia. Perwujudannya adalah pemanfaatan ilmu
guna kesejahteraan manusia, martabat luhur dan kebajikan para cendekiawan
(kreatif, sabar, tekun, rendah hati, bijaksana). Ilmu membentuk kepribadian
mandiri dan matang serta meningkatkan harkat martabat pribadi secara lahiriah,
sosial (sikap dalam pergaulan), psikis (sabar, rendah hati, bijaksana). Ilmu menjadi kualitas
kepribadian, termasuk kegairahan, keuletan untuk berkreasi dan berkarya.
Martabat kepribadian manusia dengan potensi uniknya memampukan manusia
untuk menghayati alam metafisik jauh di balik alam dan kehidupan, memiliki
wawasan kesejarahan (masa lampau, kini dan masa depan), wawasan ruang (negara,
alam semesta), bahkan secara suprarasional menghayati Tuhan yang supranatural
dengan kehidupan abadi sesudah mati. Pengetahuan menyeluruh ini adalah
perwujudan kesadaran filosofis-religius, yang menentukan derajat kepribadian
manusia yang luhur. Berilmu/ berpengetahuan berarti mengakui ketidaktahuan dan
keterbatasan manusia dalam menjangkau dunia suprarasional dan supranatural.
Tahu secara ‘melampaui tapal batas’ ilmiah dan filosofis itu justru
menghadirkan keyakinan religius yang dianut seutuh kepribadian: mengakui
keterbatasan pengetahuan ilmiah-rasional adalah kesadaran rohaniah tertinggi
yang membahagiakan.
2.4 Kajian Aksiologi
Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan, disukai atau
yang baik. Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu
kesatuan dasar aksiologis, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Aksiologi Pancasila mengandung
arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila.
Dalam filsafat Pancasila, terdapat tiga tingkatan nilai, yaitu nilai dasar,
nilai instrumental, dan nilai praktis.
§
Nilai-nilai dasar dari Pancasila adalah nilai ketuhanan,
nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.
§
Nilai instrumental, adalah nilai yang berbentuk norma
sosial dan norma hukum yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan
dan mekanisme lembaga-lembaga negara.
§
Nilai praktis, adalah nilai yang sesungguhnya kita
laksanakan dalam kenyataan. Nilai ini merupakan batu ujian apakah nilai dasar
dan nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam masyarakat.
Nilai-nilai dalam Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral merupakan
nilai dasar yang mendasari nilai intrumental dan selanjutnya mendasari semua
aktivitas kehidupan masyarakat, berbansa, dan bernegara.
Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai
Pancasila (subscriber of value Pancasila), yaitu bangsa yang
berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan
berkeadilan sosial.
Aksiologi menyelidiki pengertian, jenis, tingkatan, sumber dan hakikat
nilai secara kesemestaan. Aksiologi Pancasila pada hakikatnya sejiwa dengan ontologi
dan epistemologinya. Pokok-pokok aksiologi itu dapat disarikan sebagai berikut:
Ø
Tuhan yang Maha Esa sebagai
mahasumber nilai, pencipta alam semesta dan segala isi beserta
antarhubungannya, termasuk hukum alam. Nilai dan hukum moral mengikat manusia
secara psikologis-spiritual: akal dan budi nurani, obyektif mutlak menurut
ruang dan waktu secara universal. Hukum alam dan hukum moral merupakan
pengendalian semesta dan kemanusiaan yang menjamin multieksistensi demi
keharmonisan dan kelestarian hidup.
Ø
Subyek manusia dapat membedakan
hakikat mahasumber dan sumber nilai dalam perwujudan Tuhan yang mahaesa,
pencipta alam semesta, asal dan tujuan hidup manusia (sangkan paraning dumadi,
secara individual maupun sosial).
Ø
Nilai-nilai dalam kesadaran
manusia dan dalam realitas alam semesta yang meliputi: Tuhan yang mahaesa
dengan perwujudan nilai agama yang diwahyukan-Nya, alam semesta dengan berbagai
unsur yang menjamin kehidupan setiap makhluk dalam antarhubungan yang harmonis,
subyek manusia yang bernilai bagi dirinya sendiri (kesehatan, kebahagiaan,
etc.) beserta aneka kewajibannya. Cinta kepada keluarga dan sesama adalah
kebahagiaan sosial dan psikologis yang tak ternilai. Demikian pula dengan ilmu,
pengetahuan, sosio-budaya umat manusia yang membentuk sistem nilai dalam
peradaban manusia menurut tempat dan zamannya.
Ø
Manusia dengan potensi martabatnya
menduduki fungsi ganda dalam hubungan dengan berbagai nilai: manusia sebagai
pengamal nilai atau ‘konsumen’ nilai yang bertanggung jawab atas norma-norma
penggunaannya dalam kehidupan bersama sesamanya, manusia sebagai pencipta nilai
dengan karya dan prestasi individual maupun sosial (ia adalah subyek budaya).
“Man created everything from something to be something else, God created
everything from nothing to be everything.” Dalam keterbatasannya, manusia
adalah prokreator bersama Allah.
Ø
Martabat kepribadian manusia
secara potensial-integritas bertumbuhkembang dari hakikat manusia sebagai
makhluk individu-sosial-moral: berhikmat kebijaksanaan, tulus dan rendah hati,
cinta keadilan dan kebenaran, karya dan darma bakti, amal kebajikan bagi
sesama.
Ø
Manusia dengan potensi martabatnya
yang luhur dianugerahi akal budi dan nurani sehingga memiliki kemampuan untuk
beriman kepada Tuhan yang mahaesa menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Tuhan dan nilai agama secara filosofis bersifat metafisik, supernatural dan
supranatural. Maka potensi martabat manusia yang luhur itu bersifat apriori:
diciptakan Tuhan dengan identitas martabat yang unik: secara sadar mencintai
keadilan dan kebenaran, kebaikan dan kebajikan. Cinta kasih adalah produk
manusia – identitas utama akal budi dan nuraninya – melalui sikap dan karyanya.
Ø
Manusia sebagai subyek nilai
memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap pendayagunaan nilai, mewariskan
dan melestarikan nilai dalam kehidupan. Hakikat kebenaran ialah cinta kasih,
dan hakikat ketidakbenaran adalah kebencian (dalam aneka wujudnya: dendam,
permusuhan, perang, etc.).
Ø
Eksistensi fungsional manusia
ialah subyek dan kesadarannya. Kesadaran berwujud dalam dunia indra, ilmu,
filsafat (kebudayaan/ peradaban, etika dan nilai-nilai ideologis) maupun
nilai-nilai supranatural.
Skema pola antarhubungan sosial manusia meliputi:
- Hubungan sosial-horisontal, yakni antarhubungan pribadi manusia (P) dalam antarhubungan dan antaraksinya hingga yang terluas yaitu hubungan antarbangsa (A2-P-B2);
- Hubungan sosial-vertikal antara pribadi manusia dengan Tuhan yang mahaesa (C: Causa Prima) menurut keyakinan dan agama masing-masing (garis PC).
o
kualitas hubungan sosial-vertikal
(garis PC) menentukan kualitas hubungan sosial horisontal (garis APB);
o
kebaikan sesama manusia bersumber
dan didasarkan pada motivasi keyakinan terhadap Ketuhanan yang mahaesa;
o
kadar/ kualitas antarhubungan itu
ialah: garis APB ditentukan panjangnya oleh garis PC. Tegasnya, garis PC1 akan
menghasilkan garis A1PB1 dan PC2 menghasilkan garis A2PB2. Jadi, kualitas
kesadaran akan Ketuhanan yang mahaesa menentukan kualitas kesadaran
kemanusiaan.
Seluruh kesadaran manusia tentang nilai tercermin dalam kepribadian dan
tindakannya. Sumber nilai dan kebajikan bukan saja kesadaran akan Ketuhanan
yang mahaesa, tetapi juga adanya potensi intrinsik dalam kepribadian, yakni:
potensi cinta kasih sebagai perwujudan akal budi dan nurani manusia (berupa kebajikan).
Azas dan usaha manusia guna semakin mendekati sifat-sifat kepribadiannya adalah cinta sesama.
Nilai cinta inilah yang menjadi sumber energi bagi darma bakti dan
pengabdiannya untuk selalu berusaha melakukan kebajikan-kebajikan. Azas
normatif ini bersifat ontologis pula, karena sifat dan potensi pribadi manusia
berkembang dari potensialitas menuju aktualitas, dari real-self menuju ideal-self,
bahkan dari kehidupan dunia menuju kehidupan kekal. Garis menuju perkembangan
teleologis ini pada hakikatnya ialah usaha dan dinamika kepribadian yang
disadari (tidak didasarkan atas motivasi cinta, terutama cinta diri).
Cinta diri
cenderung mengarahkan manusia ke egosentrisme, mengakibatkan ketidakbahagiaan.
Kebaikan dan watak pribadi manusia bersumber pula pada nilai keseimbangan
proporsi cinta pribadi dengan sesama dan dengan Tuhan yang mahaesa.
Dengan perkataan lain, kesejahteraan rohani dan kebahagiaan pribadi manusia
yang hakiki ialah kesadarannya dalam menghayati cinta Tuhan dan hasrat luhurnya
mencintai Tuhan dan sesamanya.
Nilai instrinsik
ajaran filsafat Pancasila sedemikian mendasar, komprehensif, bahkan luhur dan
ideal, meliputi: multi-eksistensial dalam realitas horisontal; dalam hubungan
teleologis; normatif dengan mahasumber kesemestaan (Tuhan dengan ‘ikatan’ hukum
alam dan hukum moral yang psikologis-religius); kesadaran pribadi yang natural,
sosial, spiritual, supranatural dan suprarasional. Penghayatannya pun
multi-eksistensial, bahkan praeksistensi, eksistensi (real-self dan ideal-self),
bahkan demi tujuan akhir pada periode post-existence (demi kehidupan
abadi), menunjukkan wawasan eksistensial yang normatif-ideal.
Secara instrinsik
dan potensial, nilai-nilai Pancasila memenuhi tuntutan hidup manusia karena
nilai filsafat sejatinya adalah untuk menjamin keutuhan kepribadian dan
tidak mengakibatkan konflik kejiwaan maupun dilematika moral. Bersyukurlah kita
punya Pancasila!
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Setelah kami berusaha untuk menguraikan pembahasan mengenai filsafat pancasila,
kami dapat menyimpulkan bahwa unsur – unsur Pancasila memang telah di miliki
dan di jalankan oleh bangsa Indonesia sejak dahulu. Oleh karena bukti – bukti
sejarah sangat beraneka ragam wujudnya maka perlu diadakan analisa yang
seksama. Karena bukti – bukti sejarah sebagian ada yang berupa symbol maka
diperlukan analisa yang teliti dan tekun berbagai bahan – bahan bukti itu dapat
diabstaksikan sedemikian rupa sehingga diperoleh hasil – hasil yang memadai.
Melalui cara – cara tersebut hasilnya dapat bersifat kritik dan tentu saja ada
kemungkinan yang bersifat spekulatif. Demikian pula adaunsur – unsur yang di
suatu daerah lebih menonjol dari daerah lain misalnya tampak pada perjuangan
bangsa Indonesia dengan peralatan yang sederhana serta tampak pada bangunan dan
tulisan dan perbuatan yang ada
Demikian makalah yang kami buat dengan materi pancasila sebagai filsafat,
kajian ontologis,epistemologis,dan aksiologi pancasila dan pancasila sebagai
sistemetika politik dan pancasila sebagai paradigma pembangunan semoga dapat
melengkapi tugas kewarganegaraan dan dapat bermanfaat bagi yang membacanya.
Tentu kita sadari bahwa tidak semua materi yang ada dituangkan dihalaman
makalah ini dan sebaliknya tidak semua yang tertuang dalam makalah ini akan sesuai
dengan pemikiran ahli yang lain . Hal ini karena semata mata keterbatasan
pembuat makalah.
Oleh karena itu apabila dalam penyusunan makalah ini dirasa ada yang kurang
mohon ditanyakan kepada sumbernya .terimakasih,semoga bermanfaat .
Amin......
3.2 Saran
Dalam makalah ini penulis berkeinginan memberikan saran kepada pembaca
dalam pembuatan makalah ini penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat
kekurangan – kekurangan baik dari bentuk maupun isinya.
kami menyarankan kepada pembaca agar ikut peduli dalam mengetahui sejauh
mana pembaca mempelajari tentang filsafat Pancasila
Semoga dengan makalah ini para pembaca dapat menambah cakrawala ilmu
pengetahuan
Pengembangan ilmu pengetahuan yang berlandaskan Pancasila merupakan bagian penting bagi
keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara di masa mendatang (Pranarka,
1985:391).
Sejak dulu, ilmu pengetahuan mempunyai posisi penting dalam aktivitas
berpikir manusia. Istilah ilmu pengetahuan terdiri dari dua gabungan kata
berbeda makna, ilmu dan pengetahuan. Segala sesuatu yang kita ketahui merupakan
definisi pengetahuan, sedangkan ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang
yang disusun secara sistematis menurut metode tertentu.
Sikap kritis dan cerdas manusia dalam menanggapi berbagai peristiwa di
sekitarnya, berbanding lurus dengan perkembangan pesat ilmu pengetahuan. Namun
dalam perkembangannya, timbul gejala dehumanisasi atau penurunan derajat
manusia. Hal tersebut disebabkan karena produk yang dihasilkan oleh manusia,
baik itu suatu teori mau pun materi menjadi lebih bernilai ketimbang
penggagasnya. Itulah sebabnya, peran Pancasila harus diperkuat agar bangsa
Indonesia tidak terjerumus pada pengembangan ilmu pengetahuan yang saat ini
semakin jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Notosoetarjo 1962, Kepribadian Revolusi Bangsa Indonesia
A.T. Soegito, 1983, Pancasila Tinjauan dari Aspek Historis, FPIPS –
IKIP, Semarang.
A.T. Soegito, 1999, Sejarah Pergerakan Bangsa Sebagai Titik Tolak
Memahami Asal Mula Pancasila, Makalah Internship Dosen-Dosen Pancasila se Indonesia, Yogyakarta.
Alhaj dan Patria, 1998.BMP.Pendidikan Pancasila.Penerbit Karunika,Jakarta 4 – 5.
Bakry Noor M, 1998, Pancasila Yuridis Kenegaraan, Liberty,
Yogyakarta. Dardji Darmodihardjo, 1978,
Santiaji Pancasila, Lapasila, Malang.
Harun Nasution, 1983.
Filsafat Agama, NV Bulan Bintang. Jakarta.
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2105602-makna-pancasila-sebagai-dasar-negara/
http:// www. Pancasila.org/situs/sebagai_ etika _.politik.Via
google.view15-I-2010
Kaelan, 1993, Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan, Paradigma, Yogyakarta.
K.Wantjik Saleh 1978,Kitab Kumpulan Peraturan Perundang RI,Jakarta PT.Gramedia
Notonagoro, Pnacasila Dasar Filsafat Negara RI I.II.III
Notonagoro. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Cet. 9. Jakarta: Pantjoran Tujuh
Soediman Kartohadiprojo 1970, Beberapa Pikiran
Sekitar Pancasila, Bandung
Alumni
Salam, H. Burhanuddin, 1998. Filsafat Pancasilaisme. Jakarta: Rineka Cipta